Setelah kita Kaji tentang bagaimana cara turun sujud lebih dahulu lutut atau tangan yang lalu, dimana jika ditinjau dari segi keshahihan Hadits yang paling kuat adalah mendahulukan lutut. Pada kesempatan ini kami akan menyertakan fatwa ulama dan sahabat untuk menguatkan pendapat tersebut disertai penjelasan maksud dari matannya

Fatwa Shahabat-shahabat dan Ulama Mendahulukan Lutut

1.      Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, Tuntunan Shalat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, Hal. 45 – 56, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, Cetakan Kedua: Dzulhijjah 1427 H / Januari 2007

Rasulullah saat hendak melakukan sujud, meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua tangannya. Setelah meletakkan kedua lutut, beliau kemudian meletakkan kedua tangan, lalu kening, lalu hidung,

Itulah tuntunan sujud yang benar, yang diriwayatkan dalam sebuah hadits oleh Syarik, dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Wail bin Hajar. Wail mengatakan bahwa ia pernah melihat Rasulullah ketika hendak sujud, maka beliau meletakkan kedua lututnya sebelum meletakkan kedua tangannya. Dan ketika beliau bangkit, maka beliau mengangkat kedua tangan sebelum mengangkat kedua lututnya. (Diriwayatkan oleh Abu Daud, 838, dalam kitab Ash-Shalah, Bab Kaifa Yadha’ Rukhbataihi qabla Yadaihi, At-Tarmidzi, 268, dalam kitab Ash-Shalah, Bab Ma Ja’a fi Wadh’i al-Yadain qabla ar-Rukbatain fi as-Sujud, Ibnu Majah, 882, dalam Kitab Al-Iqamah, Bab As-Sujud, dan An-Nasa’i, 2/206-207, dalam Kitab Al-Iftitah, Bab Awwalu Ma Yashilu ila al-Ardh min al-Insan fi Sujudihi. Al-Bani dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi, 44, mengatakan bahwa hadist tersebut dha’if)

Dalam soal sujud ini, tak ada yang meriwayatkan hadist yang bertentangan dengan keterangan tersebut.

Adapun Hadist dari Abu Hurairah yang berbunyi,

Apabila salah seorang di antara kalian melakukan sujud, maka janganlah ia mendekam sebagaimana mendekamnya seeokor unta (maksudnya melakukan gerakan seperti gerakan mendekamnya unta) dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum meletakkan kedua lututnya. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 841, dalam Kitab Ash-Shalah, Bab Kaifa Yadha’ Rukhbataihi qabla Yadaihi, At-Tarmidzi, 269, dalam Kitab Ash-Shalah Bab No. 85, An-Nasa’i 2/207, dalam Kitab Al-Iftitah, Bab Awwalu Ma Yashiluila al-Ardh min al-Insan fi Sujudihi, dan Ahmad 2/381. Hadist tersebut dianggap shahih pula oleh al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, 595)

Hadist ini -wallahu a’lam- mengandung wahm (kesalahan) dari beberapa perawinya. Bagian awal redaksi hadist tersebut bertolak belakang dengan bagian akhirnya. Karena jika seseorang meletakkan kedua tangannya terlebih dahulu sebelum meletakkan kedua lututnya , justru berarti dia telah mendekam seperti mendekamnya onta. Dalam kenyataannya, unta ketika mendekam memang meletakkan kedua tangannya (kaki depannya -ed.) terlebih dahulu, baru kedua lututnya (kaki belakangnya -ed.)

Setelah mendapatkan penjelasan tentang fakta gerak mendekamnya unta itu, orang-orang yang berpegang kukuh pada kebenaran redaksi hadist di atas lantas membuat alasan bahwa yang dimaksud kedua lutut unta itu sebenarnya adalah kedua kaki depannya, bukan kaki belakangnya. Unta ketika sedang mendekam, maka pertama kali meletakkan kedua lututnya (kaki depannya -ed.) terlebih dahulu. Dan inilah yang dilarang dalam sujud.

Namun pendapat tersebut juga salah karena beberapa hal:

1. Ketika unta mendekam, ia meletakkan kedua tangannya (kaki depannya -ed.) terlebih dahulu. Sedangkan kedua kakinya (kaki belakang -ed.) masih berdiri tegak. Ketika unta hendak bangkit. maka ia akan bangkit dengan kedua kakinya terlebih dahulu, sedang kedua tangannya masih berada di tanah.

Inilah sebenarnya yang dilarang oleh Rasulullah dalam melakukan sujud. Intinya, ketika hendak sujud maka harus menjatuhkan anggota badannya yang paling dekat dengan tanah, kemudian anggota badan yang lebih dekat dengan anggota badan pertama. Ketika hendak bangkit, maka yang pertama kali diangkat adalah anggota badan yang paling atas.

Rasulullah ketika hendak sujud, pertama beliau meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu, kemudian kedua tangannya, setelah itu keningnya. Saat bangkit dari sujud, beliau mengangkat kepala lebih dahulu, lalu kedua tangannya, dan setelah itu baru kedua lututnya.

Gerakan seperti itu berbeda dengan gerak mendekam yang dilakukan unta. Rasulullah amat melarang umatnya melakukan gerakan sholat yang menyerupai gerakan suatu jenis binatang. Misalnya, beliau melarang untuk mendekam sebagaimana mendekamnya unta, melarang berpindah-pindah sebagaimana berpindahnya serigala, melarang duduk dengan membentangkan kaki sebagaimana yang dilakukan binatang buas, melarang berjongkok sebagaimana berjongkoknya anjing, melarang menekuk jari yang sampai berbunyi sebagaimana yang dilakukan gagak (Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Dawud 62 dalam Kitab Ash-Shalah Bab Shalah Man la Yuqim Shalbahu fi ar-Ruku wa as-Sujud. An-Nasa’i 2/214 dalam Kita Al-Iftitah, Bab An-Nahyu ‘an Naqrah al-Ghurab. Ibnu Majah, 1429, dalam Kitab Al-Iqamah, Bab Ma Ja’a fi Tauthid al-Makan fi al-Masjid Yushalli fihi. Dan Ahmad 3/428, 444, dari Abdurrahman bin Syabl, ia berkata,”Rasulullah saw. telah melarang untuk menekuk jari sampai berbunyi sebagaimana yang dilakukan gagak, melarang duduk dengan membentangkan kaki sebagaimana yang dilakukan bintang buas, dan melarang menambatkan sesuatu di masjid seperti menambatkan unta.” Hadist di atas dianggap shahih pula oleh al-Albani dalam shahih Sunan Abu Dawud), dan melarang mengangkat tangan ketika salam sebagaimana gerakan ekor kuda terhadap matahari. Yang jelas, tuntunan gerakan shalat itu sangat berbeda dengan gerakan aneka jenis binatang.

2. Pendapat yang menyatakan bahwa kedua lutut unta itu terletak pada kedua tangannya (kaki depannya -ed) adalah pendapat yang tidak masuk akal dan tidak dikenal oleh para ahli bahasa, karena lutut unta itu terletak di kedua kaki belakangnya

3. Andaikata penjelasan hadits yang mereka utarakan itu benar, maka mestinya redaksi hadistnya berbunyi, “Maka hendaklah orang yang shalat mendekam sebagaimana mendekamnya unta.” Yang pertama kali menyentuh tanah adalah kedua tangannya (kaki depan -ed) unta. Di sinilah inti masalah ini. Yaitu bahwa bagi siapa saja yagn mau memikirkan mendekamnya unta, dan ia mengerti bahwa Rasulullah melarang untuk mendekam sebagaimana mendekamnya unta, maka orang tersebut akan yakin bahwa hadist Wa’il bin Hajar adalah yang benar. Wallahua’lam

Menurut saya, dalam hadist Abu Hurairah di atas telah terjadi pembalikan (kesalahan) redaksi hadistnya oleh sebagian perawi Hadist. Barangkali saja redaksi hadist yang benar adalah, “Dan hendaklah meletakkan kedua lututnya sebelum meletakkan kedua tangannya.”

Kasus kesalah redaksi hadist seperti ini juga dilakukan oleh sebagian perawi terhadap hadist Ibnu Umar, bahwa Bilal melakukan adzan pertama dan waktu malam (sebelum terbit fajar -ed.), maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan (subuh -ed.) (Hadist ini shahih, diriwayatkan oleh Bukhari, 1918, dalam kitab Ash-Shaum, Bab Qaul an-Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “La Yammna’ukum sahurakum adzanu Bilal.”). Sebagian perawinya mengatakan, bahwa Ibnu Ummi Maktum yang melakukan adzan pada waltu malam (sebelum fajar -ed.), maka makan minumlah kalian sampai Bilal mengumandangkan adzan (subuh -ed.).

Contoh lain yang serupa terjadi pula dalam suatu hadist yang berbunyi, “Calon penghuni neraka akan terus dilemparkan ke dalam neraka. Lalu neraka berkata, ‘Apa masih ada lagi?’” Sampai sabda beliau yang berbunyi, “Sedangkan surga, maka Allah akan menciptakan makhluk yang akan ditempatkan di dalamnya.” (Hadist ini shahih, diriwayatkan oleh Bukhari, 4850, dalam Kitab At-Tafsir, Bab Qouluhu Ta’ala, “Wa Taqulu Hal min Mazid?” Hadist dari Abu Hurairah r.a.) Sebagian Perawi melakukan pembalikan terhadap redaksi hadist tersebut dengan mengatakan, “Sedangkan neraka, maka Allah akan menciptakan makhluk yang akan ditempatkan di dalamnya.”

Bahkan saya juga melihat Abu Bakar bin Abi Syaibah (Nama Lengkap Abu Bakar bin Abi Syaibah adalah Muhammad bin Abi Syaibah, seorang hafizh, berasal dari Kufah. Abu Ubaid Al-Qasim mengatakan bahwa dirinya mengambil ilmu dari empat ulama, yaitu Abu Bakar sebagai guru pertama, Ahmad sebagai yang paling pintar dalam bidang fikih di antara para gurunya, Yahya adalah yang paling kompleks, dan Ali adalah yang paling alim. Abu Bakar meninggal dunia pada 235 H. Lihat At-Tahdzib, 2/499) ikut pula meriwayatkan hadist yang terbalik seperti itu. Ibnu Abi Syaibah mengatakan, “Aku mendapat berita dari Muhammad bin Fudhail, dari Abdullah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw., beliau bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian hendak melakukan sujud, maka mulailah dengan meletakkan kedua lututnya sebelum meletakkan kedua tangannya. Dan janganlah mendekam sebagaimana mendekamnya kuda jantan.” (Sanad hadist ini lemah sekali. Abdullah bin Sa’id al-Maqburi adalah termasuk orang yang lemah sebagaimana keterangan yang ada pada At-Taqrib).

Hadits serupa juga diriwayatkan oleh al-Atsram dalam Sunannya dari Abu Bakar dengan redaksi yang sama. Ada pula hadits periwayatan Abu Hurairah yang membenarkan hal itu adalah cocok dengan hadits Wail bin Hajar.

Ibnu Abu Daud (Ibnu Abu Daud adalah Abu Bakar, Abdullah bin Sulaiman bin Al-Asy’ats, seorang imam yang hafizh, al-’Alamah, seorang syekh besar di Baghdad, as-Sijistani. ia banyak memiliki karya. Ibnu Abu Daud dilahirkan pada 23H. Ada beberapa orang yang menyinggung riwayat hidupnya, antara lain ayahnya sendiri dalam buku As-Siyar, 13/221) mengatakan, “Aku mendapatkan kabar dari Ibnu Fudhail, yaitu Muhammad, dari Abdullah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. ketika hendak sujud memulainya dengan kedua lututnya sebelum meletakkan kedua tangannya.” (Sanad Hadits ini lemah sekali. Hadits ini diriwayatkan oleh Baihaqi, 2/100. Di dalam hadits ini terdapat perawi yang bernama Abdullah bin Sa’id al-Maqburi, dan dia termasuk orang yang ditinggal dalam menerima periwayatan hadits darinya).

Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya telah meriwayatkan hadits dari Mush’ab bin Sa’ad, dari ayahnya, ia berkata, “Kami pernah meletakkan kedua tangan sebelum meletakkan kedua lutut. Kemudian kami diperintahkan meletakkan lutut terlebih dahulu sebelum meletakkan kedua tangan.” (Hadits ini memiliki cacat. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, 628. Tentang penjelasan cacatnya, lihat pada penjelasan berikutnya)

Dengan melihat hadist di atas, maka bila hadits dari Abu Hurairah masih dianggap benar, berarti hadits tersebut telah dinasakh (diganti). Itulah pendapat yang diyakini oleh pengarang Kitab Al-Mughni dan lainnya. Tetapi penting untuk diketahui bahwa dalam hadits dari Mush’ab ini terdapat dua cacat.

1. Hadits tersebut adalah dari periwayatan Yahya bin Salamah Kuhail (Yahya bin Salamah bin Kuhail. Lihat dalam Al-Mizan, 9527, At-Tahdzib, 4/361 dan At-Taqrib, 7561. Ibny Hajar mengatakan, “Ia adalah orang yang ditinggalkan periwayatannya. Ia termasuk golongan Syi’ah.”), dan ia termasuk orang yang tidak bisa dijadikan hujjah atau patokan. An-Nasa’i mengatakan, “Ia termasuk orang yang ditinggalkan periwayatannya.” Ibnu Hibban berkata, “Ia termasuk orang yang mengingkari hadits. Oleh sebab itu tidak dapat dijadikan hujjah.” Ibnu Mu’ayyan mengatakan, “Tidak apa-apa.”

2. Bahwa yang dapat dipetik dari periwayatan Mush’ab bin Sa’ad, dari ayahnya, hanyalah tentang maslah praktek. Dan ucapan Sa’ad, “Kami berbuat seperti itu, kemudian Rasulullah menyuruh kami agar meletakkan kedua tangan di atas lutut.”

Sedangkan perkataan pengarang Al-Mughni dari Abu Sa’id mengatakan, “Kami pernah meletakkan kedua tangan sebelum meletakkan kedua lutut. Setelah itu kami diperintahkan untuk meletakkan kedua lutut sebelum meletakkan kedua tangan.” – Wallahu A’lam- itu hanyalah kesalahan dalam nama saja. Yang benar adalah Sa’ad bukan Sa’id. Kalaupun dari Sa’ad, itupun juga terdapat keraguan dalam sisi hadits sebagaiman penjelasan yang telah lalu. Yang penting, hadits tersebut hanyalah sebatas praktek. Wallahu a’lam.

Adapun tentang hadits Abu Hurairah di muka, maka Bukhari, at-Tirmidzi, dan ad-Daruquthni memberikan penilaian cacat.

Bukhari mengatakan bahwa Muhammad bin Abdullah bin Hasan (Muhammad bin Abdullah bin Hasan adalah Abdullah, al-Madani, dan al-Hasyimi. Ia seorang yang dapat dipercaya. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Tahdzib, 3/604, menuturkan periwayatannya dari Abu az-Zanad, dan Ibnu Hajar tak memberi komentar apapun, serta tidak menyinggung perkataan Bukhari) adalah orang yang tidak dapat diikuti. Bukhari juga berkata, “Aku sendiri tidak mengerti apakah ia mendengar langsung dari Abu az-Zanad (Abu az-Zanad adalah Abdullah bin Dzakwan al-Quraisyi, ayah Abdurrahman al-Madani, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu az-Zanad. Ia seorang yang tsiqah, dan termasuk golongan tabi’in yang utama. Abu az-Zanad meninggal pada 130H, tetapi ada yagn mengatakan di tahun yang lain. Lihat At-Tahdzib, 2/329) ataukah tidak.”

At- Tirmidzi mengatakan, “Hadits tersebut asing. Aku tidak pernah mengenalnya dari Abu az-Zanad kecuali dari arah ini.”

Ad-Daruquthni mengatakan bahwa Abdul Aziz ad-Darawardi menyendirikan hadits tersebut, dari Muhammad bin Abdullah bin Hasan al-Alawi, dari Abu az-Zanad.

An-Nasa’i telah menuturkan dari Qutaibah, “Aku mendapat berita dari Abdullah bin Nafi’, dari Muhammad Abdullah bin Hasan al-Alawi, dari Abu az-Zanad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Salah seorang di antara kalian membuat kesengajaan dalam shalat. Yaitu mendekam sebagaimana mendekamnya unta.” (Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Abu Daud, 741, dalam Kitab Ash-Shalah, Bab Kaifa Yadha’ Rrukbataihi qabla Yadaihi; at-Tirmidzi, 269, dalam Kitab Ash-Shalah, Bab no. 85; dan An-Nasa’i, 2/207, Al-Albani menganggap shahih hadits tersebut dalam Shahih Sunan Abu Daud) Redaksinya tidak lebih dari itu.

Abu Bakar bin Abi Daud mengatakan, “Itulah sunnah yang dipegang ahli Madinah. Dalam sunnah tersebut, mereka memiliki dua sanad. Yang satunya seperti di atas dan yang lain adalah dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Nabi saw.”

Ibnu Qayyim memberikan komentar, “Ahli Madinah dengan hadits periwayatan Ashbagh bin al-Faraj, dari ad-Darawardi, dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, menjelaskan bahwa Rasulullah saw. pernah meletakkan kedua tangannya terlebih dahulu sebelum meletakkan kedua lututnya. Kemudian ahli Madinah mengatakan bahwa itulah yang pernah dilakukan Rasulullah saw.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Hakim, 821)

Hadits senada juga diriwayatkan oleh Hakim dalam Al-Mustadrak dari jalan periwayatan Muhriz bin Salamah, dari ad-Darawardi. Hakim mengatakan kalau hadits tersebut sesuai dengan persyaratan yang diberikan oleh Imam Muslim.

Hakim pernah meriwayatkan sebuah hadits dari Hafsh bin Ibnu Ghiyats, dari Ashim al-Ahwal, dari Anas, ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah saw. sedang turun dari berdiri dengan membaca takbir sehingga kedua lututnya mendahului kedua tangannya.” ( Sanad hadits ini dha’if, diriwayatkan oleh Hakim, 822, dan dalam sanadnya terdapat al-’Ala’ bin Ismail, seorang yang tidak jelas)

Hakim menganggap kalau hadits tersebut telah sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Bukhari dan Muslim. Hakim juga tidak mengetahui cacat pada hadits tersebut.

Ibnu Qayyim mengomentari masalah ini dengan mengatakan bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim (Abdurrahman bin Abu Hatim adalah seorang penghafal besar yang menjadi anak dari seorang penghafal besar pula. Ia memiliki buku Al-Jahr wa At-Ta’dil yang termasuk dalam kategori buku paling agung yang dikarang dalam bidangnya. Ia juga memiliki buku Al-’Ilal dan karyanya yang lain. Abdurrahman seorang ahli ibadah, zuhud, dan sekaligus wara’. Ia meniggal pada tahun 327 H. Lihat Al-Bidayah, 6/246) telah berkata, “Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits tersebut. Ayahku menjawab, ‘Hadist tersebut mungkar.’ Alasan ayahku menganggap mungkar mungkin karena dalam periwayatannya terdapat al-’Ala’ bin Ismail al-Aththar, dari Hafsh bin Ghiyats. Padahal al-’Ala’ termasuk orang yang tidak jelas dan tidak pernah disebut-sebut dalam kutub as-Sittah. Itulah hadits-hadits yang marfu’ dari dua sisi sebagaimana yang Anda lihat.

Adapun beberapa atsar yang dipegang para sahabat adalah yang berasal dari periwayatan Umar ibnul-Khattab bahwa ia meletakkan kedua lututnya sebelum meletakkan kedua tangannya. (Hadits ini dikeluarkan oleh Abdurrazaq, 295, dari jalan periwayatan an-Nakh’i dari Umar. Hadits ini adalah munqathi’)

Hadits senada pernah disebutkan oleh Abdurrazaq dan Ibnul Mundzir ( Ibnu al-Mundzir adalah seorang imam, seorang hafizh, seorang yang pandai, Syaikh al-Islam, Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin al-Mundzir an-Naisaburi, seorang ahli fikih, penyusun Al-Ijma’ dan lainnya. Ia termasuk pengikut madzhab asy-Syafi’i dan meninggal dunia pada 309 H. Lihat As-Siyar, 14/490) serta yang lainnya, dengan melalui jalan periwayatan Ibnu Mas’ud r.a.

Hadits tersebut juga pernah disebutkan oleh ath-Thahawi, dari Fahd, dari Umar bin Hafsh, dari ayahnya, dari Ibrahim, dari beberapa teman Alqamah dan al-Aswad, keduanya berkata, “Kami ingat shalat yang pernah dilakukan oleh Umar, bahwa Umar setelah ruku pernah menurunkan kedua lututnya terlebih dahulu sebagaimana unta yang hendak turun setelah berdiri. Umar meletakkan kedua lututnya, sebelum meletakkan kedua tangannya.”

Kemudian ath-Thahawi juga menuturkan hadits dari jalan periwayatan al-Hajj bin Arthah, ia mengatakan bahwa Ibrahim an-Nakh’i (Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Yazid bin Qais bin al-Aswad an-Nakh’i, ayah Imran. Ia seorang ahli fikih dan pernah bertemu dengan Aisyah r.a. Ibrahim termasuk seorang mufti di daerah Kufah. Ia meninggal duni pada 96 H. dalam usia 49 tahun, namun ada pendapat yang mengatakan lain. Lihat At-Tahdzib, 1/92) pernah berkata, “Yang perlu dicatat dari Abdullah bin Mas’ud, bahwa kedua lututnya jatuh ke tanah terlebih dahulu sebelum kedua tangannya.”

Ath-Thahawi juga menuturkan dari Abu Marzuq, dari Wahb, dari Syu’bah, dari al-Mughirah, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ibrahim tentang seseorang yang memulai sujudnya dengan meletakkan kedua tangan lebih dahulu sebelum meletakkan kedua lututnya. Al-Mughirah menjawab, ‘Tidak ada yang berbuat seperti itu kecuali orang yang bodoh dan orang gila.”

Ibnul Mundzir berkata, “Dalam masalah sujud ini, para ulama masih berselisih pendapat. Yang termasuk berpendapat harus meletakkan kedua lutut lebih dulu sebelum kedua tangan adalah Umar ibnul-Khaththab.”

Pendapat ini diikuti oleh:

– an-Nakha’i

– Muslim bin Yasar (Muslim bin Yasar adalah penduduk Madinah, hidup pada masa dinasti Umayyah, dan kemudian menjadi penduduk Mekah. Ia ayah Abdullah. Muslim adalah seorang ahli fikih, seorang tabi’in yang terpercaya. Ia seorang ahli ibadah yang wara’. Muslim tercatat sebagai ulama ahli fikih yang ke-5 di antara 5 ulama fikih yang ada di Bashrah. Lihat At-Tahdzib, 4/74)

– ats-Tsauri (Nama lengkapnya adalah Sufyan ats-Tsauri bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri. Seorang amirul mukminin dalam bidang hadits. Pengakuan itu tidak hanya diucapkan oleh satu ulama saja. Ia termasuk salah satu ulama Islam yang patut dijadikan teladan. Ats-Tsauri adalah seorang yang ahli fikih. Ia meninggal pada 161 H. Lihat Al-Bidayah, 5/634)

– Asy-Syafi’i

– Ahmad

– Ishaq (Namanya adalah Ishaq bin Rahawaih, seorang imam besar dan syekh daerah Masyriq. Tuan para hafizh. Abu Ya’qub. Ia dilahirkan pada 161 H. Ibnu Rahwaih menyusun buku al-Musnad. Ia juga seorang imam dalam bidang tafsir dan sekaligus termasuk salah satu ulama mujtahid)

– Abu Hanifah beserta para pengikutnya

– dan Ahli Kufah

Ada pula yang berpendapat sebaliknya, yaitu meletakkan kedua tangan terlebih dulu sebelum meletakkan kedua lutut. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik.

Al-Auza’i mengatakan, “Kami pernah menemukan orang-orang yang sedang shalat, kemudian mereka meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut.” Ibnu Abu Daud berkata, “Pendapat yang mengatakan meletakkan kedua tangan terlebih dahulu sebelum meletakkan kedua lutut adalah pendapat ulama ahli hadits.”

Ibnu Qayyim menerangkan bahwa terdapat hadits dari Abu Hurairah yang dituturkan oleh Baihaqi dengan memakai redaksi lain yaitu,

“Apabila salah seorang dari kalian hendak sujud, maka janganlah mendekam sebagaimana mendekamnya unta, tetapi hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” ( Hadits ini diriwayatkan oleh Baihaqi, 2/100)

Baihaqi mengatakan, “Apabila memang hadits ini dapat dipegang, maka akan menjadi dalil bahwa Rasulullah ketika hendak sujud, beliau meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”

Dengan demikian, hadits Wail bin Hajar adalah lebih utama dari hadits Abu Hurairah karena beberapa hal:

1. Hadits Wail adalah lebih mantap daripada hadits Abu Hurairah, sebagaimana dikatakan al-Khithabi dan lainnya.

2. Hadits yang berasal dari Abu Hurairah statusnya mudhtharib (membingungkan) dalam matannya, sebagaimana telah kami terangkan sebelumnya. Di antara ulama yang mengikuti hadits tersebut ada yang mengatakan, “Dan hendaklah meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” ada pula yang mengatakan sebaliknya. Ada ulama lagi yang mengatakan, “Dan hendaklah meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya.” danada pula yang membuang kata-kata tersebut.

3. Seperti diterangkan sebelumnya, Bukhari dan ad-Daruquthni serta lainnya telah mencela hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah itu.

4. Tapi meskipun hadits dari Wail bin Hajar itu lebih mantap, masih aja ada sekelompok ulama yang mengkritiknya, dengan menganggap hadits tersebut telah diubah dari aslinya. Ibnul Mundzir berkata, “Sebagian ulama menyangka bahwa ada perubahan redaksi dari yang sebetulnya, yaitu meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut.” Lihat penjelasan yang telah lalu.

5. Hadits Wail sudah sesuai dengan larangan Nabi ketika sujud, agar kita tidak meniru gerakan mendekamnya unta. Ini berbeda dengan hadits Abu Hurairah.

6. Hadits Wail sudah sesuai dengan penjelasan dari para sahabat, seperti Umar ibnul-Khaththab, Ibnu Umar, serta Abdullah bin Mas’ud. Sedang untuk hadits Abu Hurairah belum pernah ada penjelasan dari sahabat kecuali Umar r.a.

7. Hadist dari Wail telah diperkuat oleh hadits dari Ibnu Umar dan Anas, sebagaimana keterangan yang telah lalu, sedangkan hadits Abu Hurairah tidak ada yang memperkuat. Andaikata kedua hadits tersebut seimbang, maka hadits dari Wail lah yang akan didahulukan sebab lebih banyak diperkuat oleh hadits lain.

8. Kebanyakan umat Islam memilih hadits dari Wail, sedang pendapat yang lain hanya mengacu pada pendapat al-Auza’i dan Malik. Adapun mengenai perkataan Ibnu Abu Daud bahwa pendapat yang mengatakan meletakkan kedua tangan terlebih dahulu sebelum kedua lututnya merupakan pendapat ulama ahli hadis, maksudnya adalah sebagian ahli hadits, kecuali Ahmad, asy-Syafi’i, dan Ishaq.

9. Dalam hadits yang bersumber dari Wail terdapat kisah yang menceritakan perbuatan Nabi saw. Maka itu lebih utama untuk diperhatikan.

10. Semua perbuatan yang diceritakan dalah hadits Wail adalah shahih, dibanding riwayat yang lain. Memang perbuatan tersebut sudah terkenal. Inilah salah satu riwayat yang shahih dan memiliki hukum tersendiri, serta tidak ada riwayat lain yang bisa menandinginya. Oleh sebab itu, hadits Wail dianggap kuat. Wallahu a’lam.

————————————————-

II. Al Jauziyah, Ibnu Qayyim. Kitabush-shalah wa hukmu tarikiha (Terjamah: Rahasia dibalik Shalat). Penerjemah, Amir Hamzah Fachrudin, Kamaluddin Sa’diatulharamaini. Hal 213 – 216. Cetakan kesembilan. Jakarta: Pusaka Azzam, Agustus 2005.

2.      Diriwayatkan dari Al-Maqbari bahwa, “Apabila salah seorang di antara kamu melakukan sujud, hendaknya dimulai dengan meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.”

3.      Merunduk seperti itu hanya akan sempurna dengan lutut terlebih dahulu. Turun ketika sujud dengan mendahulukn lutut sebelum tangan telah dilakukan oleh para sahabat mulia dan para tabiin dari kalangan ulama salaf. Antara lain diriwayatkan dari al-Aswad an-Nakhai ra. Ia mengatakan bahwa Umar bin al-Khattab ra turun untuk sujud dengan mendahulukan lututnya. (HR In Abi Syaibah dalam al-Mushannaf-nya (I:294 no.3 Cet. Dar al-Fikr) dengan sanad yang shahih.

4.      Diriwayatkan dari Abdullah bin Muslim bin Yasar ra bahwa jika ayahnya sujud, ia meletakkan kedua lututnya, kemudian kedua tangannya, lalu kepalanya. (HR Ibn Abi Syaibah (I:295 no.5) dengan sanad yang shahih)

5.      Diriwayatkan pula dari Ibrahim an-Nakhai -semoga Allah merahmatinya- bahwa ia pernah ditanya oleh seseorang mengenai orang yang meletakkan tangannya sebelum lututnya. Ia tidak menyukai itu, lalu berkata,” Adakah yang melakukan hal itu selain orang gila?” (HR Ibn Abi Syaibaah (I: 295 no.5) dengan sanad yang shahih pula)

6.      Imam as-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya- (terdapat dalam al-Umm-nya asy-Syafi’i (I:98)) berkata,” Aku suka memulai takbir sambil berdiri dan turun menuju tempat untuk sujud. Aku juga menyukai orang yang meletakkan lututnya terlebih dahulu ketika sujud, lalu tangannya, lalu wajahnya atau mukanya. Jika ia meletakkan wajahnya sebelum kedua tangannya, atau meletakkan tangan sebelum lututnya, aku tidak menyukai it. Tetapi jika ada yang melakukn itu, ia tidak perlu mengulangi shalatnya dan tidak perlu sujud syahwi. (Dengan demikian menurut Imam asy-Syafi’i, hukum meletakkan lutut sebelum tangan, dan meletakkan tangan sebelum meletakkan wajah atau dahi hannya sunah saja, bahkan hanya sunah biasa dan bukan pula sunah muakkadah -Pen)

7.      IV. Terjamahan Bahasa Indonesia: Fatwa-Fatwa Shalat, Syeik Abdulaziz bin Baz, Hal. 47 – 49, Cetakan pertama Dzulqaidah 1427H / Desember 2006, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta.

Menurut petunjuk As-Sunnah, orang yang hendak sujud dalam shalatnya dianjurkan untuk meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua telapak tangannya jika ia mampu melakukannya. Pendapat ini yang paling kuat dari pendapat lainnya. Ini juga merupakan pendapat jumhur ulama karena lebih kuatnya hadist riwayat Wa’il bin Hajar r.a. dan hadist lain yang satu makna dengan hadist tersebut

Adapun mengenai hadist riwayat Abu Hurairah, maka pada hakekatnya maknanya tidak bertentangan dengan hadist Wa’il, bahkan sebetulnya sama, karena yang dilarang Nabi saw. adalah gerakan hendak sujud seperti yagn dilakukan unta saat mendekam. Sudah diketahui bersama bahwa mendahulukan kedua tangan itu menyerupai yang dilakukan unta.

Ucapan di akhir hadist ‘Dan hendaknya meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.’ diduga kuat telah diriwayatkan inqilab (terbalik, dengan mengakhirkan yagn seharusnya didahulukan dan sebaliknya) oleh sebagian perawi hadist. Karena riwayat yang benar adalah ‘hendaknya meletakkan kedua lututnya sebelum kedua telapak tangannya,’ (Unta kalau hendak duduk mendekam mendahulukan kaki depannya -tangan-, baru kaki belakangnya -ed.). Dengan demikian makna beberapa hadist yang nampak kontradiktif itu bisa dikompromikan, hingga hilang pertentangan. Hal ini telah diulas panjang lebar oleh Al-’Allamah Ibnul Qayyim dalam kitab karyanya yang berjudul Zad al-Ma’ad (khusus soal Bab Shalat dari buku ini telah diterbitkan edisi bahasa Indonesianya oleh Penerbit AKBAR, dengan judul: “Tuntunan Shalat Rasulullah saw.”).

Sedangkan mengenai orang yang tidak mendahulukan kedua lututnya sebab sakit atau karena berusia lanjut, maka hukum melakukannya adalah la haraj (tidak apa-apa). Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala berikut ini,

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (at-Taghaabun: 16)

Rasulullah saw. juga telah bersabda,

Apa-apa yang telah aku larang bagi kalian maka jauhilah, dan apa-apa yang aku perintahkan kepada kalian maka datangilah perintah itu sebatas kemampuanmu”

Para ulama hadist sudah bersepakat tentang shahihnya hadist ini.

8.      Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullahTa’ala

Soal: Bagaimanakah tata cara turun untuk bersujud?

Jawab: Yang pertama turun adalah lutut terlebih dahulu, kemudian dua buah telapak tangan, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang sujud dengan meletakkan telapak tangan terlebih dahulu, sebagaimana sabdanya:

إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه.

“Apabila salah seorang di antara kalian sujud, maka janganlah turun untuk sujud sebagaimana menderumnya onta, dan hendaklah ia meletakkan dua tangannya sebelum dua lututnya” (HR. Ahmad 2/381; Abu Dawud no. 840; An-Nasa’I no. 1090).

Kalimat pertama yang berbunyi”janganlah turun untuk sujud sebagaiamana menderumnya onta” , larangan ini tentang sifat sujudnya yang ditunjukkan oleh huruf “kaf” yang berarti penyerupaan (tasybih). Bukan larangan tentang kesamaan pada anngota badan yang sujud. Sekiranya larangan terhadap kesamaan anggota badan yang sujud tentulah bunyi hadits tersebut Maka janganlah menderum persis dengan menderumnya onta, jika memang demikian maka kami katakana janganlah Anda turun sujud di atas dua lutut karena onta menderum di atas dua lututnya. Tetapi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan janganlah menderum persis dengan menderumnya onta, namun beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan janganlah menderum sebagaimana menderumnya onta. Ini adalah larangan tentang sifat dan tata cara, bukan larangan kesamaan meletakkan anggota badan saat sujud.

Oleh karena itu Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitabnya Zaadul Ma’ad (1/215) yakin bahwa perawi hadits terbalik dalam menyebutkan kalimat terakhir dalam hadits tersebut. Kalimat terakhir tersebut yaitu: Hendaklah ia meletakkan dua tangannya sebelum dua lututnya, beliau berkata: yang benar hendaklah ia meletakkan dua lututnya sebelum dua tangannya; sebab sekiranya meletakkan dua tangan terlebih dahulu sebelum dua lututnya tentu ia akan bersujud sebagaimana menderumnya onta. Onta itu apabila menderum lebih mendahulukan tangannya. Barangsiapa yang pernah menyaksikan onta menderum tentulah jelas baginya permasalahan ini.

Maka yang benar jika kita ingin menyelaraskan hadits pada bunyi hadits yang terakhir dengan yang bunyi hadits yang pertama, yaitu: Hendaklah ia meletakkan dua lututnya sebelum dua tangannya, karena jika ia meletakkan dua tangannya sebelum dua lututnya sebagaimana yang saya katakana tentulah ia akan turun sujud sebagaimana turunnya onta. Sehingga awal dan akhir hadits menjadi bertentangan.

Sebagian ikhwan telah mengarang sebuah risalah yang berjudul FATHUL MA’BUD FII WADH’I RUKBATAINI QOBLA YADAIN FII SUJUD, karya ini cukup bagus dan bermanfaat. Oleh karena itu sunnah yang diperintahkan oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam dalam sujud adalah meletakkan dua lutut sebelum dua tangan.

Sumber: Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, soal no. 249

  1. Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah:

أما الصلاة بكليهما فجائزة بإتفاق العلماء إن شاء المصلى يضع ركبتيه قبل يديه وإن شاء وضع يديه ثم ركبتيه وصلاته صحيحة فى الحالتين بإتفاق العلماء ولكن تنازعوا فى الأفضل

“Adapun shalat dengan kedua cara tersebut maka diperbolehkan dengan kesepakatan ulama, kalau dia mau maka meletakkan kedua lutut sebelum kedua telapak tangan, dan kalau mau maka meletakkan kedua telapak tangan sebelum kedua lutur, dan shalatnya sah pada kedua keadaan dengan kesepakatan para ulama. Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang yang afdhal”(Majmu’ Al-Fatawa 22/449).

  1. Riwayat dari sahabat dan salaf. Turun ketika sujud dengan mendahulukan lutut sebelum tangan telah dilakukan oleh para sahabat mulia dan para tabiin dari kalangan ulama salaf. Antara lain diriwayatkan dari al-Aswad an-Nakhai ra. Ia mengatakan bahwa Umar bin al-Khattab ra turun untuk sujud dengan mendahulukan lututnya.   (Lihat dalam HR In Abi Syaibah dalam al-Mushannaf-nya I:294 no.3 Cet. Dar al-Fikr)dengan sanad yang shahih)
  2. Ibnul Mundzir berkata, “Yang termasuk berpendapat harus meletakkan kedua lutut lebih dulu sebelum kedua tangan adalah Umar ibnul-Khaththab.”
  3. An-Nakha’I. Diriwayatkan darinya bahwa ia pernah ditanya oleh seseorang mengenai orang yang meletakkan tangannya sebelum lututnya. Ia tidak menyukai itu, sambil berkata,” Adakah yang melakukan hal itu selain orang gila?”. (Hal ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibaah juz I: 295 no.5. dengan sanad yang shahih pula.)
  4. Muslim bin Yasar.Beliau adalah ulama’ besar yang hidup pada masa dinasti Umayyah, dan kemudian menjadi penduduk Mekah. Ia ayah Abdullah. Muslim adalah seorang ahli fikih, seorang tabi’in yang terpercaya. Ia seorang ahli ibadah yang wara’. Muslim tercatat sebagai ulama ahli fikih yang ke-5 di antara 5 ulama fikih yang ada di Bashrah. Lihat At-Tahdzib, 4/74)

14.  Ishaq. Namanya adalah Ishaq bin Rahawaih, seorang imam besar daerah Masyriq. Tuan para hafizh. Ia dilahirkan pada 161 H. Ibnu Rahwaih menyusun buku al-Musnad. Ia juga seorang imam dalam bidang tafsir dan sekaligus termasuk salah satu ulama mujtahid.

  1. Ats-Tsauri. Nama lengkapnya adalah Sufyan ats-Tsauri bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri. Seorang amirul mukminin dalam bidang hadits. Pengakuan Ia termasuk salah satu ulama Islam yang patut dijadikan teladan. Ats-Tsauri adalah seorang yang ahli fikih. Ia meninggal pada 161 H. Lihat Al-Bidayah, 5/634)

16.  Imam Asy-Syafi’i. Beliau -semoga Allah merahmatinya- berkata dalam al-Umm,” Aku suka memulai takbir sambil berdiri dan turun menuju tempat untuk sujud. Aku juga menyukai orang yang meletakkan lututnya terlebih dahulu ketika sujud, lalu tangannya, lalu wajahnya atau mukanya. Jika seseorang meletakkan wajahnya sebelum kedua tangannya, atau meletakkan tangan sebelum lututnya, aku tidak menyukai itu. Tetapi ia tidak perlu mengulangi shalatnya dan tidak perlu sujud syahwi.”

17.  Imam Ahmad. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyah dalam Zadul Ma’ad.

  1. Imam Abu Hanifah beserta para pengikutnya dan  para ulama khalaf dari mazhab empat.

Penjelasan secara Matan

A.    Pendapat pertama: Penjelasan Matan Bahwa Tangan Terletak Pada Kaki Bagian Depan Unta

  1. Para ahli bahasa menyebutkan bahwa rukbah (lutut) unta berada di tangannya, Adapun sendi yang berada belakang itu dinamakan ‘urqub (عرقوب). (Lihat Al-Ain 5/362, Lisanul Arab 3/ 1715, Tahdzibullughah 10/216, Al-Muhkam wal Muhith Al-A’dzom 7/15)

Dalam hadist ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita turun untuk sujud seperti unta yang mau menderum. Yang demikian karena unta menderum dengan bertumpu pada kedua lututnya yang berada di kedua tangannya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk meletakkan kedua telapak tangan dahulu sebelum kedua lutut.

  1. Berkata Ath-Thahawy:

وَذَلِكَ أَنَّ الْبَعِيرَ رُكْبَتَاهُ فِي يَدَيْهِ ، وَكَذَلِكَ كُلُّ ذِي أَرْبَعٍ مِنْ الْحَيَوَانِ وَبَنُو آدَمَ بِخِلَافِ ذَلِكَ ؛ لِأَنَّ رُكَبَهُمْ فِي أَرْجُلِهِمْ لَا فِي أَيْدِيهِمْ فَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ الْمُصَلِّيَ أَنْ يَخِرَّ عَلَى رُكْبَتَيْهِ اللَّتَيْنِ فِي رِجْلَيْهِ كَمَا يَخِرُّ الْبَعِيرُ عَلَى رُكْبَتَيْهِ اللَّتَيْنِ فِي يَدَيْهِ ، وَلَكِنْ يَخِرُّ لِسُجُودِهِ عَلَى خِلَافِ ذَلِكَ فَيَخِرُّ عَلَى يَدَيْهِ اللَّتَيْنِ لَيْسَ فِيهِمَا رُكْبَتَاهُ بِخِلَافِ مَا يَخِرُّ الْبَعِيرُ عَلَى يَدَيْهِ اللَّتَيْنِ فِيهِمَا رُكْبَتَاهُ

“Dan yang demikian itu karena kedua lutut unta ada di kedua tangannya (kaki depan), demikian pula semua hewan yang memiliki 4 kaki. Sedangkan anak Adam sebaliknya, lutut-lutut mereka ada di kaki, bukan di tangan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang shalat –di dalam hadist ini- dari turun sujud dengan bertumpu pada kedua lutut yang ada di kakinya seperti unta yang mau turun menderum dengan bertumpu pada kedua lutut yang ada di kedua tangannya. Akan tetapi hendaknya turun sujud bukan dengan cara seperti itu, yaitu hendaknya turun sujud dengan bertumpu pada kedua tangan, dimana kedua tangan (manusia) tidak ada lututnya. Ini berbeda dengan unta , dimana dia turun dengan bertumpu pada kedua tangan yang ada lututnya ” (Syarh Musykil Al-Atsar 1/169, Mu’assatur Risalah)

  1. Dalam Kitab Ringkasan Shahih Al-Bukhari 2, kitab keutamaan anshar:608 karya Nashirudin Al-Albani mengatakan “Saya mendengar bacaan Rasulullah-dan beliau tidak pernah menoleh , sedang abu bakar sering menoleh- kedua kaki depan kuda saya terperosok ke dalam tanah, hingga sampai lututnya. Ini merupakan dalil bahwa kedua lutut kuda adalah dikaki depannya, demikian juga semua binatang berkaki empat. Dan hal ini tidak diketahui oleh banyak ulama, seperti Ibnul Qayyim. Dia menulis berlembar-lembar untuk menjelaskan kesalahan perawi sebuah hadits yang sebenarnya shahih, yaitu hadits “Jika seorang kalian sujud, maka janganlah turun seperti menderumnya seekor unta. Hendaknya ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. Ibnul Qayyim mengira hadits itu adalah maqlub (terbalik)., dan yang benar adalah “hendaknya ia mendahulukan lutut sebelum kedua kakinya”. Padahal ini terkenal dalam kamus bahasa arab, seperti al-Qamus dan yang lainnya. Juga dalam pemakaiannya, seperti nash hadits shahih ini. Kemaksuman hanya pada Rasulullah”

B.     Pendapat Kedua: Penjelasan Matan Bahwa Tangan Terletak Pada Kaki Bagian Belakang Unta

1.      Hadist ini -wallahu a’lam- mengandung wahm (kesalahan) dari beberapa perawinya. Bagian awal redaksi hadist tersebut bertolak belakang dengan bagian akhirnya. Karena jika seseorang meletakkan kedua tangannya terlebih dahulu sebelum meletakkan kedua lututnya , justru berarti dia telah mendekam seperti mendekamnya onta. Dalam kenyataannya, unta ketika mendekam memang meletakkan kedua tangannya (kaki depannya -ed.) terlebih dahulu, baru kedua lututnya (kaki belakangnya -ed.)

Setelah mendapatkan penjelasan tentang fakta gerak mendekamnya unta itu, orang-orang yang berpegang kukuh pada kebenaran redaksi hadist di atas lantas membuat alasan bahwa yang dimaksud kedua lutut unta itu sebenarnya adalah kedua kaki depannya, bukan kaki belakangnya. Unta ketika sedang mendekam, maka pertama kali meletakkan kedua lututnya (kaki depannya -ed.) terlebih dahulu. Dan inilah yang dilarang dalam sujud.

Namun pendapat tersebut juga salah karena beberapa hal:

1. Ketika unta mendekam, ia meletakkan kedua tangannya (kaki depannya -ed.) terlebih dahulu. Sedangkan kedua kakinya (kaki belakang -ed.) masih berdiri tegak. Ketika unta hendak bangkit. maka ia akan bangkit dengan kedua kakinya terlebih dahulu, sedang kedua tangannya masih berada di tanah.

Inilah sebenarnya yang dilarang oleh Rasulullah dalam melakukan sujud. Intinya, ketika hendak sujud maka harus menjatuhkan anggota badannya yang paling dekat dengan tanah, kemudian anggota badan yang lebih dekat dengan anggota badan pertama. Ketika hendak bangkit, maka yang pertama kali diangkat adalah anggota badan yang paling atas.

Rasulullah ketika hendak sujud, pertama beliau meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu, kemudian kedua tangannya, setelah itu keningnya. Saat bangkit dari sujud, beliau mengangkat kepala lebih dahulu, lalu kedua tangannya, dan setelah itu baru kedua lututnya.

Gerakan seperti itu berbeda dengan gerak mendekam yang dilakukan unta. Rasulullah amat melarang umatnya melakukan gerakan sholat yang menyerupai gerakan suatu jenis binatang. Misalnya, beliau melarang untuk mendekam sebagaimana mendekamnya unta, melarang berpindah-pindah sebagaimana berpindahnya serigala, melarang duduk dengan membentangkan kaki sebagaimana yang dilakukan binatang buas, melarang berjongkok sebagaimana berjongkoknya anjing, melarang menekuk jari yang sampai berbunyi sebagaimana yang dilakukan gagak (Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Dawud 62 dalam Kitab Ash-Shalah Bab Shalah Man la Yuqim Shalbahu fi ar-Ruku wa as-Sujud. An-Nasa’i 2/214 dalam Kita Al-Iftitah, Bab An-Nahyu ‘an Naqrah al-Ghurab. Ibnu Majah, 1429, dalam Kitab Al-Iqamah, Bab Ma Ja’a fi Tauthid al-Makan fi al-Masjid Yushalli fihi. Dan Ahmad 3/428, 444, dari Abdurrahman bin Syabl, ia berkata,”Rasulullah saw. telah melarang untuk menekuk jari sampai berbunyi sebagaimana yang dilakukan gagak, melarang duduk dengan membentangkan kaki sebagaimana yang dilakukan bintang buas, dan melarang menambatkan sesuatu di masjid seperti menambatkan unta.” Hadist di atas dianggap shahih pula oleh al-Albani dalam shahih Sunan Abu Dawud), dan melarang mengangkat tangan ketika salam sebagaimana gerakan ekor kuda terhadap matahari. Yang jelas, tuntunan gerakan shalat itu sangat berbeda dengan gerakan aneka jenis binatang.

2. Pendapat yang menyatakan bahwa kedua lutut unta itu terletak pada kedua tangannya (kaki depannya -ed) adalah pendapat yang tidak masuk akal dan tidak dikenal oleh para ahli bahasa, karena lutut unta itu terletak di kedua kaki belakangnya

3. Andaikata penjelasan hadits yang mereka utarakan itu benar, maka mestinya redaksi hadistnya berbunyi, “Maka hendaklah orang yang shalat mendekam sebagaimana mendekamnya unta.” Yang pertama kali menyentuh tanah adalah kedua tangannya (kaki depan -ed) unta. Di sinilah inti masalah ini. Yaitu bahwa bagi siapa saja yagn mau memikirkan mendekamnya unta, dan ia mengerti bahwa Rasulullah melarang untuk mendekam sebagaimana mendekamnya unta, maka orang tersebut akan yakin bahwa hadist Wa’il bin Hajar adalah yang benar. Wallahua’lam

(Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, Tuntunan Shalat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, Hal. 45 – 56, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, Cetakan Kedua: Dzulhijjah 1427 H / Januari 2007)

C.     Pendapat Yang Paling Kuat

Menurut kami, pendapat yang paling rajah adalah alasan sebagai berikut:

1.      Apabila Nashirudin Al-Abani menganalogikan bahwa lutut unta atau binatang berkaki empat lainnya berada di kaki depan, seperti dalam Ringkasan Shahih Al-Bukhari 2, kitab keutamaan anshar:608 Nashirudin Al-Albani member note: “…kedua kaki depan kuda saya terperosok ke dalam tanah, hingga sampai lututnya. Ini merupakan dalil bahwa kedua lutut kuda adalah dikaki depannya, demikian juga semua binatang berkaki empat..”

Hal ini bisa dibantah dengan masih dari ringkasan Al-Bukhari karya Nashirudin Al-Albani, bahwa tidak salah menganalogikan tangan manusia itu terletak pada kaki depan hewan berkaki empat seperti dalam Bab. Ke-140: Tidak menjulurkan Kedua Lengannya Dalam Sujud, bahwa “Dari Anas bin Malik, dari Nabi shalallau ‘alaihi wasallam bersabda:
“Luruskanlah kalian dalam sujud dan jangan kamu menghamparkan kedua hastanya seperti anjing menghamparkan kaki depannya.”. Jadi Tidak keliru bahwa penganalogian tangan manusia itu terletak pada kaki depan pada binatang berkaki empat.

2.      Pernyataan bahwa kaki yang padanya terdapat lutut pada manusia itu bisa dianalogikan dengan kaki belakanga pada binatang berkaki empat adalah sebagai beikut:

a.       ,”Rasulullah saw. telah melarang untuk menekuk jari sampai berbunyi sebagaimana yang dilakukan gagak, melarang duduk dengan membentangkan kaki sebagaimana yang dilakukan bintang buas, dan melarang menambatkan sesuatu di masjid seperti menambatkan unta.”

b.      dan melarang mengangkat tangan ketika salam sebagaimana gerakan ekor kuda terhadap matahari. Yang jelas, tuntunan gerakan shalat itu sangat berbeda dengan gerakan aneka jenis binatang.

Hadist di atas dianggap shahih pula oleh al-Albani dalam shahih Sunan Abu Dawud

3.      Lengan adalah le·ngan n 1 anggota badan dr pergelangan tangan sampai ke bahu; 2 kaki depan (tt binatang berkaki empat): — kuda; 3 ki bagian benda yg menyerupai lengan; — atas lengan bagian atas antara siku dan pundak; pangkal lengan; — baju bagian baju yg menutupi lengan; — bawah lengan bagian bawah antara pergelangan tangan dan siku; — jangkar bagian yg melintang pd ujung jangkar dan mempunyai ujung yg lancip (kuku jangkar); — kait alat pengisap pd sotong, cumi, dsb berupa lengan-lengan panjang di sekitar mulut, penuh batil pengisap sbg alat untuk menangkap mangsa dan memasukkannya ke mulut; — kopel Fis jarak tegak lurus antara garis kerja gaya kopel; — neraca bagian neraca yg bentuknya menyerupai lengan  (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

4.      Seperti yang dijelaskan pada makalah bahwa yang shahih dalam masalah ini adalah hadis fi’li (perbuatan Nabi), yaitu mendahulukan lutut.

5.      Pada hadis fi’li itu, Nabi tidak menyebutkan tentang penyerupaan manusia (ketika hendak sujud) den…gan unta (ketika hendak menderum). Dengan perkataan lain, Nabi tidak menyebut illat (sebab) bahwa perbuatannya itu agar tidak menyerupai menderumnya unta. Jadi hadis itu semata-mata menunjukkan bahwa ketika hendak sujud disyariatkan mendahulukan lutut, baru diikuti dengan tangan. Terlepas apakah lutut unta itu di kaki depan atau dibelakang.

6.      Karena itu, hemat kami pemahaman matan hadis fi’li seperti yang diajukan diatas tidak mengkaitkan perbuatan itu dengan menderumnya unta. Adapun terjadinya perbincangan tentang penyerupaan manusia dengan unta disebabkan hadis Qauli (ucapan Nabi): “Dahulukan tangan”, karena pada hadis itu Nabi menyebutkan tentang penyerupaan manusia (ketika hendak sujud) dengan unta (ketika hendak menderum). Karena hadis itu kami nilai daif, hemat kami tidak relevan apabila matan hadis ini dipergunakan sebagai alat untuk memahami hadis fi’li di atas. Sekali lagi, terlepas apakah lutut unta itu di kaki depan atau dibelakang.