MUKADIMAH

الْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Untuk memahami Sunah dengan pemahaman yang benar, kita harus memahaminya sesuai dengan petunjuk Alquran, yaitu dalam kerangka bimbingan ilahi yang pasti benarnya dan tidak diragukan lagi keadilan-Nya. Karena itu, penjelasan yang bersumber dari Nabi saw. senantiasa berkisar di seputar Alquran dan tidak mungkin melanggarnya.

Dengan demikian, tidak mungkin ada Sunah yang berlawanan, bertentangan baik dengan Alquran maupun Sunah lainnya. Dan kalaupun ada sebagian dari kita memperkirakan adanya pertentangan seperti itu, maka hal itu pasti disebabkan tidak sahihnya hadis yang bersangkutan atau pemahaman kita yang tidak tepat, ataupun apa yang diperkirakan sebagai pertentangan itu hanyalah bersifat semu (taarudh), dan bukanlah pertentangan hakiki (tanaqudh). Karena itu, bertindak secara tergesa-gesa, dengan menolak beberapa dalil dengan alasan semata-mata karena “seperti bertentangan” adalah tindakan yang kurang bijaksana, yang tidak akan dilakukan oleh orang-orang yang mendalam ilmunya. Salah satu contoh yang paling jelas mengenai itu adalah dalil-dalil yang menerangkan tata cara turun ke sujud. Satu hadis bersifat khabariyyah (informatif) menyatakan bahwa Rasulullah mendahulukan lutut sebelum tangannya ketika hendak turun ke sujud, sementara hadis lainnya bersifat insyaiyyahi (intruktif) menerangkan bahwa beliau memerintahkan untuk mendahulukan tangan sebelum lutut.

Karakteristik nash demikian  menyebabkan terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam mensikapi persoalan tersebut. Kasus burukul ba’ir ini kalau diteliti secara ilmiah dalam berbagai kitab yang telah disusun para ulama mutaqaddimin (terdahulu) bukanlah masalah baru, tetapi persoalannya sudah berkembang sejak lama. Masalah ini telah dibahas oleh para ulama yang masyhur, seperti al-Bukhari, Imam Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, al-Mundziri, Ibnu Hajar, Ibnu Qayyim, dan lain-lain.

Dalam hal burukul ba’ir ini Ibnu Hajar berpendapat bahwa hadis Abu Huraerah (mendahulukan tangan) lebih kuat daripada hadis Wail (mendahulukan lutut) (Lihat, Bulughul Maram, hal. 155). Sedangkan menurut Ibnu Sayyidinas hadis Abu Huraerah layak dikategorikan sebagai hadis yang berderajat hasan karena para rawinya selamat dari kecacatan. (Lihat, Taudhih al-Ahkam, II:257)

Sementara di lain pihak, al-Bukhari, ad-Daraquthni, dan lain-lain berpendapat bahwa hadis Abu Huraerah mengandung ilat. Ibnu Qayyim memberikan penilaian bahwa hadis Wail lebih utama dilihat dari berbagai aspek. Ibnul Mundzir berkata, “Sebagian di antara sahabat kami telah menduga bahwa menempatkan kedua tangan sebelum kedua lutut itu mansukh (terhapus). Lihat, Zadul Ma’ad, I:215 . Muhamad Syamsul Haq berkata, “Mayoritas ulama berpendapat demikian (mendahulukan lutut), dan al-Qadhi Abut Thayyib menghikayatkan (pendapat demikian juga) dari mayoritas ahli fiqih. Ibnul Mundzir menghikayatkannya sebagai pendapat Umar bin Khatab, an-Nakha’I, Muslim bin Yasar, Sufyan ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, dan Ashhabur ra’yi (madzhab rasional), dan ia berkata, ‘saya pun berpendapat demikian’.” Aunul Ma’bud III:48

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, tidak berlebihan kiranya kalau penulis menarik kesimpulan bahwa hadis-hadis tentang burukul ba’ir  ini berada pada posisi yang belum jelas. Karena itu sudah dapat dipastikan bahwa kedudukan dan kepastian hukumnya pun demikian adanya.

Penulis berpendapat bahwa masalah ini sangat penting untuk diselidiki secara ilmiah, walaupun masalah burukul ba’ir ini sudah diamalkan oleh sebagian umat Islam, dan pada umumnya mereka beranggapan bahwa dalil-dalil tentang keduanya sahih dan tidak dipertentangkan lagi oleh para ulama, tapi  kalau masalah ini terus diteliti dan dianalisa ternyata tidak demikian adanya, mengingat:

a) Dalil-dalil tentang burukul ba’ir ini keshahihannya perlu ditinjau  kembali, karena ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa hadis-hadis yang berhubungan dengan itu semuanya dhaif.

b) Hadis-hadis yang menerangkan burukul ba’ir disamping  diikhtilafkan shahih dan dhaifnya, juga hadis-hadis semacam itu hanya terdapat dalam kitab-kitab Sunan, Mustadrak dan Mu’jam saja, tetapi tidak terdapat dalam kitab Bukhari dan Muslim.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis-hadis yang berkaitan dengan burukul ba’ir keabsahannya perlu diteliti lebih lanjut, sehingga dapat dipastikan kedudukannya.

TAKHRIJ HADIS-HADIS

HADIS PERTAMA: MENDAHULUKAN LUTUT

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Dari Wail bin Hujr, ia berkata, Aku melihat Rasulullah saw. bila hendak sujud beliau menyimpan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan bila bangkit beliau mengangkat kedua tangnnya sebelum kedua lututnya.”

Hadis ini di riwayatkan oleh At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi II:56; Al-Khatib Al-Bagdadi, Maudhihu Auhamil jamI Wat Tafriqi II:433; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah I:318;  Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni I:345; At-Tabrani, Al-Mujamul kabir XII:39-40; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi I:303; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah I:477-478; Ibnu Hiban, Al-Ihsan Bi tartibi Shahibni Hibban III:190; Abu Daud, Sunan Abu Daud I:193; An Nasai, Sunan An-Nasai II:553, II:584; As-Sunanul Kubra I:229, I:247; Al-Baihaqi, As-Sunanus Sagir I:136; As-Sunanul Kubra II:98. Semuanya melalui seorang rawi bernama Syarik bin Abdullah an-Nakha’i

a. Mutabi:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ حَدِيثَ الصَّلَاةِ قَالَ فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ إِلَى الْأَرْضِ قَبْلَ أَنْ تَقَعَ كَفَّاهُ – رواه أبو داود

1. (Abu Daud berkata) telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ma’mar, Hajaj bin Minhal telah menghabarkan kepada kami, Hamam telah menghabarkan kepada kami, Muhammad bin Jahadah telah menghabarkan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ayahnya (Wail); Sesungguhnya Nabi saw. -Maka Wail menerangkan hadis salat- ia berkata, Maka ketika beliau hendak sujud kedua lututnya kena pada tanah sebelum kedua telapak tangannya. H.r. Abu Daud, Aunul Mabud III : 48

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ قَالَ هَمَّامٌ وَحَدَّثَنِي شَقِيقٌ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ هَذَا وَفِي حَدِيثِ أَحَدِهِمَا وَأَكْبَرُ عِلْمِي أَنَّهُ فِي حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ وَإِذَا نَهَضَ نَهَضَ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَاعْتَمَدَ عَلَى فَخِذِهِ

2. (Abu Daud berkata) Muhammad bin Ma’mar telah menceritakan kepada kami, Hajaj bin Minhal telah menghabarkan kepada kami, Hamam telah menghabarkan kepada kami dan berkata, Syaqiq telah menghabarkan kepada kami, Ashim bin Kulaib telah menceritakan kepadaku, dari ayahnya (Kulaib bin Syihab), dari Nabi saw. … (seperti hadis di atas).” (Ibid.,)

b. Syahid

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَرَ … ثُمَّ إنْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ حَتَّى سَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ ـ رواه البيهقي والدارقطني والحاكم ـ

1. Dari Anas bin malik, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. bertakbir… Kemudian beliau turun (ke sujud) sambil bertakbir sehingga kedua lututnya mendahului kedua tangannya.”  H.r. Al Baihaqi, As Sunanul Kubra II : 99; Ad Daraqutni, Sunan Ad Daraqutni I : 345;  Al Hakim, Al Mustadrak I: 226. Lafadz hadis di atas adalah lafadz Al Baihaqi.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِرُكْبَتَيْهِ قَيْلَ يَدَيْهِ وَلاَ يَبْرُكْ بُرُوْكَ الْجَمَلِ – رواه البيهقي وابن أبي شيبة –

2. Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. ia bersabda, “Apabila seseorang di anatara kamu sujud, maka mulailah dengan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan janganlah menderum seperti menderumnya unta.”  H.r. Al Baihaqi, As Sunanul Kubra II : 100 dan Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, I :295)

Amaliyah Sahabat

عَنْ إِبْرَاهِيْمَ أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ ـ رواه ابن أبي شيبة وعبد الرزاق ـ

1. Dari Ibrahim, bahwasa Umar menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.” H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, I : 295 dan Abdur Razak , al-Mushannaf, II : 177

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ إِذَا سَجَدَ قَبْلَ يَدَيْهِ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ إِذَا رَفَعَ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ ـ رواه ابن أبي شيبة ـ

2. Dari Nafi, Sesungguhnya Ibnu Umar bila hendak sujud menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan bila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”  H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf I : 295

Skema Sanad hadis mendahulukan lutut:

a. Sanad hadis Melalui Syarik bin Abdullah riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah


b. Sanad hadis yang menjadi Mutabi’


Skema Sanad Utama Secara Lengkap


Skema Sanad Syahid (fi’lun wa Qaulun)


HADIS KEDUA: MENDAHULUKAN TANGAN

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Dari Abu Huraerah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang hendak sujud, maka janganlah menderum seperti menderumnya unta, dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.

Hadis ini di riwayatkan oleh Al-Baihaqi,  As-Sunanul Kubra II:99-100; Abu Daud, Sunan Abu Daud, I:193; Ahmad, Al-Musnad III:325; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni I:344 & 345; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi I:303; An-Nasai, As-Sunanul Kubra I:229, semuanya melalui seorang rawi bernama Abdul Aziz bin Muhamad Ad-Darawardi.

Mutabi:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فَيَبْرُكُ فِي صَلاَتِهِ بُرُوْكَ الْجَمَلِ ـ رواه أبو داود والترمذي ـ

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda, Seseorang di antara kamu bersandar kemudian ia menderum dalam salatnya sebagaimana menderumnya unta.” H.r. At Tirmidzi, Tuhfatul Ahwadzi II : 136 dan Abu Daud, Aunul Mabud III : 51

Syahid:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ يَدَيْهِ   قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ – رواه الدارقطني –

Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah saw. bila hendak sujud, beliau menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. H.r. Ad-Daraquthni, Sunan Ad Daraquthni I : 27

Amaliyah sahabat:

عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ – رواه ابن خزيمة  والدارقطي والطحاوي والحاكم والبيهقي –

Dari Nafi, dari Ibnu Umar, sesungguhnya ia menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. H.r. Ibnu Khuzaimah, Ad-Daraquthni, At-Thahawi, Al-Hakim, Al-Baihaqi.

Skema Sanad Hadis mendahulukan tangan

Sanad Hadis Melalui Ad-Darawardi

Skema Sanad Lengkap (tangan qaul wa fi’lun)

STATUS HADIS MENDAHULUKAN LUTUT

KOMENTAR PARA ULAMA

TERHADAP HADIS PERTAMA

A. Pembelaan

قَالَ التِّرْمِذِيُّ : هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ مِثْلَ هَذَا عَنْ شَرِيكٍ وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

At-Tirmidzi berkata, “Ini hadis hasan gharib, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya seperti ini dari Syarik, dan hadis ini menjadi landasan pengamalan menurut mayoritas ahli ilmu yang berpendapat bahwa seseorang hendaklah menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya (ketika hendak sujud) dan apabila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya” Sunan At-Tirmidzi II:56

Dalam Nailul Authar (II:281) dengan redaksi

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ غَيْرُ شَرِيكٍ

“Ini hadis hasan gharib, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya selain Syarik”

وَقَالَ النَّوَوِيُّ : لاَ يَظْهَرُ تَرْجِيْحُ أَحَدِ الْمَذْهَبَيْنِ عَلَى الآخَرَ وَلكِنْ أَهْلُ هذَا الْمَذْهَبِ رَجَّحُوْا حَدِيْثَ وَائِلٍ وَقَالُوْا فِي أَبِيْ هُرَيْرَةَ إِنَّهُ مُضْطَرِّبٌ إِذْ قَدْ رُوِىَ عَنْهُ الأَمْرَانِ – سبل السلام 1: 38 –

An-Nawawi berkata, “Sulit untuk mentarjih salah satu di antara dua madzhab, namun penganut madzhab ini menyatakan bahwa hadis Wail lebih rajih (kuat) dan mereka berkata, “Pada riwayat Abu Huraerah (mendahulukan tangan) terjadi idtirab karena telah diriwayatkan dari Abu Huraerah dalam dua versi” Subulus Salam I:38

قَالَ الْخَطَّابِي وَغَيْرُهُ : وَحَدِيْثُ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَصَحُّ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ

Al-Khathabi dan lainnya berkata, “Hadis Wail bin Hujr lebih Shahih daripada hadis Abu Huraerah” Zadul Ma’ad, I:411

Setelah menganalisa berbagai penilaian, Ibnu Qayyim berpendapat: “Hadis Wail lebih utama dilihat dari berbagai aspek;

Pertama: Hadis Wail lebih tsabit (kokoh kepastian adanya) sebagaimana dinyatakan al-Khathabi dan lainnya.

Kedua: Hadis Abu Huraerah mudhtaribul matan (ketidakpastian redaksi) sebagaimana keterangan terdahulu, karena di antara para rawi dari Abu Huraerah ada yang menyatakan bahwa sabda Nabi itu:

وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

“dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. Ada pula yang menyatakan sebaliknya. Dan ada pula yang menyatakan

وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ

“dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya di atas kedua lututnya”.

Ketiga: Keterangan terdahulu, yaitu pernyataan al-Bukhari, ad-Daraquthni, dan lain-lain bahwa hadis tersebut mengandung ilat

Keempat: Andaikata hadis tersebut tsabit, sungguh sekelompok ahli ilmu mendakwakan bahwa hadis tersebut mansukh. Ibnul Mundzir berkata, “Sebagian di antara sahabat kami telah menduga bahwa menempatkan kedua tangan sebelum kedua lutut itu mansukh (terhapus)

Kelima: Hadis Wail sesuai dengan larangan Nabi tidak menderum seperti menderumnya unta, hal itu berbeda dengan hadis Abu Huraerah.

Keenam: Hadis Wail sesuai dengan riwayat amaliah shahabat, seperti Umar, Ibnu Umar, dan Ibnu Mas’ud, dan tidak ada satupun riwayat amaliah sahabat yang sesuai dengan hadis Abu Huraerah kecuali Umar, itu pun kontradiktif dengan amaliah Umar versi lainnya.

Ketujuh: Hadis Wail memiliki syahid (penguat) melalui hadis Ibnu Umar dan Anas, sebagaimana diterangkan terdahulu, sedangkan hadis Abu Huraerah tidak memiliki syahid, maka kalau keduanya berlawanan tentu saja hadis Wail bin Hujr didahulukan karena syawahidnya dan hadis Wail lebih kuat.

Kedelapan: Sesungguhnya mayoritas orang-orang berpegang pada hadis itu, sedangkan pendapat yang lain hanya bersumber  dari al-Auza’I dan Malik. Adapun perkataan Ibnu Abu Daud: “Sesungguhnya itu (mendahulukan lutut) merupakan pendapat para ahli hadis” maksudnya pendapat sebagian di antara mereka, karena Ahmad, as-Syafi’I, dan Ishaq berpendapat sebaliknya.

Kesembilan: Sesungguhnya pada hadis Wail terdapat kisah hikayat yang disusun untuk mengisahkan perbuatan Nabi, maka itu lebih terjaga kebenarannya, karena suatu hadis yang mengandung kisah hikayat menunjukkan bahwa hadis itu benar-benar terpelihara.

Kesepuluh: Sesungguhnya berbagai perbuatan yang dihikayatkan pada hadis yang semuanya tsabit lagi sahih melalui periwayatan lainnya, maka hal itu merupakan perbuatan yang sudah dikenal  lagi benar adanya, dan ini salah satu aspek di antaranya, dan status shahih itu berlaku untuknya, sedangkan keterangan yang menentangnya tidak dapat melawannya. Dengan demikian sudah pasti hadis itu yang rajih. Wallahu A’lam. Zadul Ma’ad, I:215

Muhamad Syamsul Haq berkata, “Mayoritas ulama berpendapat demikian (mendahulukan lutut), dan al-Qadhi Abut Thayyib menghikayatkan (pendapat demikian juga) dari mayoritas ahli fiqih. Ibnul Mundzir menghikayatkannya sebagai pendapat Umar bin Khatab, an-Nakha’I, Muslim bin Yasar, Sufyan ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, dan Ashhabur ra’yi (madzhab rasional), dan ia berkata, ‘saya pun berpendapat demikian’.” Aunul Ma’bud III:48

B. Kritikan

1. Hadis Wail bin Hujr tidak dapat dipakai sebagai hujah karena semua sanadnya melalui seorang rawi yang bernama Syarik bin Abdullah An Nakha’i, ia itu shaduq, banyak salah, hapalannya berubah ketika menjadi qadhi di Kufah. Tuhfatul Ahwadzi II : 134

2. Sanad yang melalui rawi Hamam bin Yahya dari Muhammad bin Jahadah adalah munqathi, karena Abdul Jabar tidak mendengar hadis itu dari ayahnya (Wail). (Ibid., ) Sedangkan sanad yang melalui Syaqiq dari Ashim bin kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari Nabi saw. adalah mursal. Karena Kulaib bin Syihab (ayah Ashim) tidak sejaman dengan Nabi (bukan sahabat). (Nailul Authar II : 281) Di samping itu Syaqiq adalah rawi yang majhul. (Tuhfatul Ahwadzi II : 135)

3. Syahid dari sahabat Anas hadisnya dhaif juga karena dalam sanadnya terdapat rawi bernama Al Ala bin Ismail, ia itu seorang majhul. (Nailul Authar II : 282)

4. Syahid dari sahabat Abu Hurairah juga dhaif sebab dalam sanadnya ada rawi bernama Abdullah bin Said Al Maqburi, ia telah dinyatakan dhaif oleh Yahya Al Qathan dan yang lainnya. Bahkan Al Hakim mengatakan, “Dzahibul hadis” (Nailul Authar II : 283)

STATUS HADIS MENDAHULUKAN TANGAN

KOMENTAR PARA ULAMA

TERHADAP HADIS KEDUA

A. Pembelaan

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadis ini lebih kuat daripada hadis Wail, ‘Saya melihat Nabi apabila hendak sujud menempatkan kedua lututnya’ ditakhrij oleh imam yang empat, karena hadis pertama (Abu Huraerah) memiliki syahid (penguat), yaitu hadis Ibnu Umar yang dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaemah dan diterangkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq mauquf”  Bulughul Maram:78-79

Al-Hafizh Ibnu Sayyidin Nas berkata, “Hadis-hadis menempatkan tangan sebelum lutut lebih kuat. Hadis Abu Huraerah layak masuk dalam kategori hasan menurut kriteria at-Tirmidzi, karena para rawinya selamat dari jarah” Nailul Authar, II:281

As-Syaukani berkata, “Hadis Abu Huraerah adalah hadis qauli (ucapan) sedangkan hadis Wail hikayat fi’il (cerita perbuatan), dan qaul lebih kuat” Nailul Authar, I:269

Muhamad Syamsul Haq berkata, “(Mendahulukan tangan) menjadi pendapat al-Auza’I, Malik, Ibnu Hazm, dan Ahmad pada salah satu versi riwayat” Ibnu Abu Daud berkata, “Ini pun merupakan pendapat para ahli hadis” Aunul Ma’bud III:50

B. Kritikan

Al-Bukhari, dalam at-Tarikhul Kabir, memuat hadis Muhamad bin Abdullah bin al-Hasan, dari Abuz Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Huraerah. Selanjutnya al-Bukhari berkata tentang Muhamad bin Abdullah bin al-Hasan, “Tidak ada mutabi’ baginya, dan saya tidak tahu apakah ia menerima hadis dari Abuz Zinad atau tidak” Nailul Authar, I:269; Taudhihul Ahkam, II:257

Hamzah al-Kanani berkata, “Ini hadis munkar” Taudhihul Ahkam, II:257

Ibnul Qayyim berkata, “Hadis Abu Huraerah maqlub (terbalik) matannya yang bersumber dari sebagaian rawi, barangkali seharusnya: Hendaklah ia menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya (berdasarkan) riwayat Ibnu Abu Syaibah, ia berkata, ‘Muhamad bin Fudhail, dari Abdullah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Huraerah, dari Nabi saw, ssungguhnya beliau bersabda, ‘Apabila salah saeorang di antara kamu hendak sujud, hendaklah ia menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan janglah ia menderum seperti menderumnya unta’ Hadis ini diriwayatkan pula oleh al-Atsram dalam Sunan-nya” Nailul Authar, I:268

SIKAP KAMI

A. Kedudukan Riwayat Syarik

Sebagaimana dapat dibaca pada keterangan terdahulu bahwa hadis tentang mendahulukan lutut dinyatakan daif oleh sebagian ulama karena semua sanadnya melalui seorang rawi bernama Syarik. Ulama al-jarh wat ta’dil (kritikus rawi) telah memberikan penilaian kepada Syarik sebagai berikut:

1. Abu Zur’ah

قَالَ عَبْدُ الرَّحْمنِ سَأَلْتُ أَبَا زُرْعَةَ عَنْ شَرِيْكٍ يُحْتَجُّ بِحَدِيْثِهِ قَالَ كَانَ كَثِيْرَ الْحَدِيْثِ صَاحِبَ وَهْمٍ يَغْلَطُ أَحْيَانًا

Abdurrahman berkata, “Aku bertanya kepada Abu Zur’ah tentang Syarik, apakah hadis dapat dipakai hujjah?” Beliau menjawab, “Dia banyak hadisnya, shahiba wahm (     ), kadang-kadang keliru” Al-Jarh wat Ta’dil, IV:366. Namun dalam Tahdzibul Kamal (XII:471) dengan redaksi

كَانَ كَثِيْرَ الْخَطَأِ صَاحِبَ وَهْمٍ وَهُوَ يَغْلَطُ أَحْيَانًا

2. Abu Hatim

وَقَالَ أَبُوْ حَاتِمٍ لاَ يَقُوْمُ مَقَامَ الْحُجَّةِ فِي حَدِيْثِهِ بَعْضُ الغَلَطِ

Abu Hatim berkata, “Dia tidak dapat mencapai derajat hujjah, pada hadisnya terdapat sedikit kekeliruan” Al-Mughni fid Dhu’afa, I:297. Dalam kitab ad-Dhu’afa wal Matrukin karya Ibnul Jauzi (II:39) dengan redaksi

لَهُ أَغَالِيْطُ

3. Al-Juzajani

قَالَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ يَعْقُوْبَ الْجُوْزَجَانِي سَيِّءُ الْحِفْظِ مُضْطَرِّبُ الْحَدِيْثِ مَائِلٌ

Ibrahim bin Ya’qub al-Juzajani berkata, “Dia buruk hapalan, mudhtaribul hadits, ma-il” Tahdzibul Kamal, XII:471; Mizanul I’tidal, III:373

4. Ya’qub bin Syaibah

وَقَالَ يَعْقُوْبُ بْنُ شَيْبَةَ  شَرِيْكٌ صَدُوْقٌ  ثِقَةٌ سَيِّءُ الْحِفْظِ جِدًّا

Ya’qub bin Syaibah berkata, “Syarik Shaduq, tsiqat, sangat buruk hapalan” Tahdzibul Kamal, XII:471

5. Syekh Nashiruddin al-Albani

Dari berbagai penilaian di atas Syekh Nashiruddin Al-Albani mengambil kesimpulan

وَهُوَ سَيِّئُ الْحِفْظِ عِنْدَ جُمْهُوْرِ الأَئِمَّةِ وَبَعْضُهُمْ صَرَّحَ بِأَنَّهُ كَانَ قَدِ اخْتَلَطَ, فَلذَالِكَ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ إِذَا تَفَرَّدَ

“Dia buruk hapalan menurut jumhur imam, dan sebagian mereka menjelaskan bahwa ia sungguh mukhtalith (berubah hapalannya). Karena itu ia tidak dapat dipakai hujjah bila meriwayatkan hadis sendirian”. Irwaul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaris Sabil, II:76.

Analisis Kami

[1] Penilaian sayyiul hifzhi, katsiral khata, yaghlathu, dan mudhtharribul hadits terhadap Syarik dari segi dhabt (hafalan)-nya, bukan adalah-nya (akidah dan akhlak). Pentajrihan (kritkan, celaan) terhadap seorang rawi yang demikian dapat kita terima selama rawi itu tafarrud (sendirian dalam meriwayatkan hadis) atau mukhalafah (bertentangan) dengan rawi yang tsiqat (kuat). Namun bila rawi itu tidak taffarud, artinya ia meriwayatkan hadis seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi lain yang tsiqat selain dia, maka hadisnya dapat diterima. Dan ini yang menjadi tolok ukur penilaian Syekh al-Bani terhadap riwayat Syarik.

Dengan demikian, penilaian para ulama di atas terhadap Syarik tidak berarti menolak seluruh hadis yang diriwayatkannya, namun  bergantung atas tafarrud atau tidaknya Syarik dalam meriwayatkan hadis. Sepanjang penelitian kami, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud tidak tafarrud, karena pada riwayat Al-Haitsami (Lihat, Mawaridhud Dham-an:132 No. 487) hadis tersebut diriwayatkan pula melalui rawi bernama Israil bin Yunus. Ia termasuk rijal Al-Bukhari dan Muslim. (lihat, Tahdzibul Kamal, II:515-524) Karena itu, yang menjadi sandaran utama dalam masalah ini adalah riwayat Israil (aslun), sedangkan riwayat Syarik sebagai pelengkap keterangan (far’un)

{2] Syarik bin Abdullah an-Nakha’i, lahir pada tahun 95 H/713 M, dan wafat pada tahun 177 H/793. (Lihat, Tahdzibul Kamal XII:477) di Kufah pada usia 82 tahun (Rijal Muslim I:309-310).  Syarik menerima hadis dari 101 guru dan memiliki murid sebanyak 95 orang (lihat, Tahdzibul kamal XII:463), dan yang paling banyak menerima hadis darinya adalah Ishaq bin Yusuf al-Azraq, yaitu sebanyak 9.000 hadis (Lihat, Mizanul I’Tidal, III:376; Ma’rifatus Tsiqat, I:453). Hal ini menunjukkan bahwa Syarik termasuk salah seorang hafizh atau kuat hapalan. Karena itu Yahya Bin Main mengatakan, “tsiqatun” (Tarikh Bagdad IX:282). Abu Zur’ah berkata kepada Yahya al-Hammani, “Cukup bagimu ilmu Syarik” (Lihat, Tarikh Baghdad, IX:280). Ad-Dzahabi menyatakan, “Kana Syarik min au’iyyatil ‘ilmi (Syarik termasuk di antara perbendaharaan ilmu)” (Lihat, Mizanul I’Tidal, III:376). Abu Ahmad bin ‘Adi mengatakan, “Syarik memiliki hadis yang banyak” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XII:472).

Pada tahun 155 H/771 M (ketika usia 60 tahun) ia menjadi qadhi di Wasith. Satu tahun kemudian (tahun 156 H/771 M) menjadi qadi di Kufah (Tahdzibut  Tahdzib IV:336). Ketika menjadi qadhi di Kufah inilah Syarik mukhtalith (hapalannya berubah) (Lihat, Taqribut Tahdzib I:243). Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Shalih bin Muhammad bahwa Syarik itu  Shaduq dan setelah menjadi qadi di kufah idhthirab (rusak) hapalannya (Lihat, Tarikh Bagdad IX:285). Demikian pula menurut Ibnu Hiban dan Ibnu Hajar. Ibnu Hiban menyatakan:

كَانَ فِي آخِرِ عُمْرِهِ يُخْطِىءُ فِيْمَا يَرْوِيْ تَغَيَّرَ عَلَيْهِ حِفْظُهُ

“Di akhir usianya ia keliru dalam periwayatan, hapalannya berubah” (Lihat, al-Kawakibun Nirat, I:47).

Ibnu Hajar menyatakan

صَدُوْقٌ يُخْطِئُ كَثِيْرًا تَغَيَّرَ حِفْظُهُ مُنْذُ وُلِّيَ القضاءَ بِالْكُوْفَةِ

“Shaduq, banyak salah, berubah hapalannya sejak diangkat jadi qadi di Kufah” (Lihat, Taqribut Tahdzib, I:243). Keadaan ini menyebabkan Syarik melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan sebagian hadisnya ketika di Kufah. Menurut Ibrahim bin Sa’id al-Jauhari, “Syarik keliru pada 400 hadis” (Lihat, Mizanul I’tidal III:373; Al-Kamil fi Dhu’afair Rijal, IV:8).

Dengan demikian, apabila ada jarah (kritikan) dari sebagian ulama terhadap Syarik, maka hal itu dapat dikategorikan menjadi dua macam:

(1)  Berkaitan dengan rusaknya dhabt (hapalan) Syarik setelah menjadi qadhi di kufah atau setelah tahun 155 H (ketika ia berusia 60 tahun) atau 22 tahun sebelum wafatnya.

(2)  Berkaitan  dengan hadis tertentu di antara yang 400 hadis itu.

Karena itu, jarh para ulama tersebut tidak serta merta menolak seluruh hadis yang diriwayatkan oleh Syarik, namun ditujukan terhadap sebagian hadis yang tercakup oleh dua kategori di atas. Apabila jarh tersebut tidak didudukan seperti ini, maka akan timbul pertanyaan yang akan menolak keabsahan jarh tersebut, sebagai berikut:

1.  Abu Zur’ah (200-264 H) lahir tahun 200 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Abu Zur’ah lahir 23 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan: Dari mana Abu Zur’ah tahu bahwa Syarik itu katsirul khatha, shahibu wahmin, yaghlathu ahyanan? Padahal ia tdk sezaman dengan Syarik.

  1. Abu Hatim (195-277 H) lahir tahun 195 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Abu Hatim lahir 18 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan: Dari mana Abu Hatim tahu bahwa Syarik itu lahu aghalith? Padahal ia tdk sezaman dengan Syarik.
  2. Ibrahim bin Ya’qub al-Juzajani (w. 259 H) sezaman dengan Imam Ahmad (164-241 H). Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Seandainya Ibrahim lahir pada tahun 170 H, berarti Syarik wafat ketika ia berusia 7 tahun. Pertanyaan: Dari mana al-Juzajani tahu bahwa Syarik itu sayyiul hifzhi, mudhtarribul hadits? Padahal ia masih kecil ketika Syarik meninggal.

4. Ya’qub bin Syaibah (182- 262 H) lahir tahun 182 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Ya’qub lahir 5 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan: Dari mana Ya’qub tahu bahwa Syarik itu sayyiul hifzhi? Padahal ia tdk sezaman dengan Syarik. Dan sebenarnya redaksi yang diungkapkan oleh Ya’qub bin Syaibah itu bukan jarh tetapi ta’dil (pujian) martabat VI, yakni  shalihun lil itibar (tidak mutlak ditolak tetapi layak dicari penguatnya) (lihat, ushulul hadits, 1989:277; Manhajun Naqd, 1985:110]

Di samping itu, jarh mereka jelas-jelas akan bertentangan dengan ta’dil (penilaian baik) para ulama yang sezaman dengan Syarik dan lebih mengetahui keadaannya. Misalnya Ibnu Ma’in (158-233 H) menyatakan tsiqat (al-Kawakibun Nirat, I:47); Ibnul Mubarak (118-181 H) menyatakan bahwa Syarik lebih tahu terhadap hadis orang-orang Kufah daripada Sufyan at-Tsauri (Al-Mughni fid Dhu’afa, I:297). Imam Ahmad (164-241 H) menyatakan bahwa syarik  itu

كَانَ عَاقِلاً صَدُوْقًا مُحَدِّثًا وَكَانَ شَدِيْدًا عَلَى أَهْلِ الرَّيْبِ وَالْبِدَعِ

“Dia orang yang kuat hapalan, jujur, ahli hadis, dan sangat tegas terhadap ahli raib (tdk teguh pendirian) dan ahli bid’ah” (Mizanul I’tidal, III:375)

Bahkan Yahya bin Sa’id al-Qaththan (120-198 H) menyatakan, “Tsiqatun tsiqatun” (Tahdzibul Kamal, XII:468)

Namun apabila jarh itu didudukan berdasarkan dua kategori di atas, maka jarh mereka sebenarnya tidak bertentangan dengan ta’dil para ulama yang sezaman dengan Syarik, yaitu

1.  Ta’dil ditujukan terhadap Syarik sebelum menjadi qadhi di kufah atau sebelum tahun 155 H. Sedangkan jarh ditujukan terhadap Syarik setelah berubah hapalannya atau setelah  menjadi qadhi di kufah atau setelah tahun 155 H.

2.  Ta’dil ditujukan terhadap periwayatan 8.600 hadis. Sedangkan jarh ditujukan terhadap periwayatan 400 hadis.

3.   Sedangkan khusus untuk jarh al-Juzajani terhadap Syarik kita perlu memperhatikan komentar para ahli hadis, antara lain al-Kautsari, Ibnu Hajar, ad-Dzahabi, dan as-Sakhawi, tentang jarh al-Juzajani terhadap orang-orang Kufah. Hal ini perlu disampaikan mengingat Syarik adalah orang Kufah. Mereka menyatakan bahwa jarh al-Juzajani terhadap orang Kufah tidak perlu diterima, karena antara dia dan orang-orang kufah terjadi permusuhan disebabkan persoalan akidah (lihat, Ta’nits al-Khatib:116;  Tahdzibut Tahdzib I:93; Mizanul I’tidal I:76; Syarah al-Alfiyah:44; ar-Raf’u wat Takmil fil Jarhi wat Ta’dil:308 dan 310) Dalam ilmu hadis, jarh seperti ini disebut jarh aqran, yakni mendaifkan orang lain karena faktor non ilmiah, antara lain sentimen atau permusuhan.

Dengan demikian, pada asalnya periwayatan Syarik itu sahih, dan untuk mengetahui apakah suatu hadis yang diriwayatkan oleh Syarik itu

(a)             sebelum menjadi qadhi di Kufah (sebelum tahun 155 H) atau sesudahnya (setelah tahun 155 H)?

(b)            dikelompokkan pada jumlah 8.600 atau 400?

(c)        Sebelum mukhtalith atau sesudahnya?

Maka dapat digunakan salah satu di antara tiga kriteria sebagai tolok ukur

1.  untuk mengetahui point (a) dapat dilihat dari aspek tarikhur riwayat, yaitu kapan hadis itu diterima dan diriwayatkan olehnya

2.  untuk mengetahui point (b) harus dilihat dari aspek takhrij, yaitu ditelusuri seluruh riwayat Syarik dalam berbagai kitab-kitab hadis

3.  untuk mengetahui point (c) dapat dilihat dari 2 aspek [1] murid yang menerimanya. Ibnu Hiban menyatakan bahwa rawi-rawi yang menerima hadis darinya di Wasith (sebelum menjadi qadi di Kufah) maka pada periwayatan mereka tidak terjadi takhlith (sahih karena mereka menerimanya sebelum Syarik mukhtalith), seperti Yazid bin Harun dan Ishaq al-Azraq, sedangkan rawi-rawi yang menerima hadis darinya di Kufah (setelah mukhtalit) padanya terdapat keragu-raguan (lihat, Tahdzibut Tahdzib IV:336;  Al-Kawakibun Nirat fi Marifati Man ikhtalatha Minar Ruwatits Tsiqat,  I:47; Al-Igtibath limarifati man rumiya bil ikhtilath : 60).

[2] mutabi’, yaitu adanya periwayatan rawi-rawi lain yang tsiqat yang mendukung periwayatannya. Dan inilah yang dijadikan landasan oleh Imam Muslim ketika beliau meriwayatkan hadis Syarik dalam kitab Shahihnya, antara lain dalam shahih Muslim, II:510

كِتَابُ الْبِرِّ وَالصِّلَةِ وَالأَدَبِ بَابُ بِرِّ الْوَالِدَيْنِ وَأَنَّهُمَا أَحَقُّ بِهِ

diterangkan oleh Abu Hurairah

قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ

karena menurut penelitian Muslim kehafizan dan kemutqinan Syarik dapat dibuktikan dengan adanya periwayatan rawi yang lainnya.

Berdasarkan kriteria tersebut, kita kaji hadis Wail yang diriwayatkan oleh Syarik tentang  Mendahulukan Lutut sebelum tangan ketika hendak sujud, dengan sebuah pertanyaan, apakah hadis Wail ini diriwayatkan oleh Syarik sebelum menjadi qadhi di Kufah atau sesudahnya ? Tegasnya sebelum taghayyur hifzhihi (berubah hapalannya) atau ba’dahu (sesudahnya) ?

Berdasarkan kriteria ketiga di atas, maka hadis Wail ini diriwayatkan oleh Syarik sebelum taghayyur hifzhihi, dengan melihat muridnya, yaitu Yazid bin Harun. Dengan demikian hadis ini diterima oleh Yazid dari Syarik bin Abdillah sebelum Syarik mukhtalit. Di samping itu, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud tidak tafarrud, karena pada riwayat Al-Haitsami hadis tersebut diriwayatkan pula melalui rawi bernama Israil bin Yunus. Ia termasuk rijal Al-Bukhari dan Muslim.

أخبرنا محمد بن إسحاق الثقفي حدثنا الحسن بن علي الخلال حدثنا يزيد بن هارون أنبأنا إسرائيل عن عاصم بن كليب عن أبيه عن وائل بن حجر قال رأيت النبي  صلى الله عليه وسلم  إذا سجد وضع ركبتيه  قبل يديه وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه

(Lihat, Mawaridhud Zham-an:132 No. 487. Dan biografi Israil dapat dilihat pada Tahdzibul Kamal, II:515-524)

Berdasarkan keterangan di atas, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud adalah maqbul (dapat diterima) karena

  1. Syarik meriwayatkan hadis tersebut sebelum terjadinya ikhtilath
  2. Syarik memiliki mutabi (tidak tafarrud) yang tsiqat, yaitu Israil bin Yunus

B. Kedudukan Riwayat Abdul Jabbar (mutabi)

Selain melalui rawi Syarik bin Abdullah, hadis mendahulukan lutut diriwayatkan pula melalui Abdul Jabbar bin Wail sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ حَدِيثَ الصَّلَاةِ قَالَ فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ إِلَى الْأَرْضِ قَبْلَ أَنْ تَقَعَ كَفَّاهُ – رواه أبو داود

(Abu Daud berkata) telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ma’mar, Hajaj bin Minhal telah menghabarkan kepada kami, Hamam telah menghabarkan kepada kami, Muhammad bin Jahadah telah menghabarkan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ayahnya (Wail); Sesungguhnya Nabi saw. -Maka Wail menerangkan hadis salat- ia berkata, Maka ketika beliau hendak sujud kedua lututnya kena pada tanah sebelum kedua telapak tangannya. H.r. Abu Daud, Aunul Mabud III : 48

Sebagian ulama menyatakan hadis ini munqathi (terputus jalur periwayatan) karena Abdul Jabar tidak mendengar hadis itu dari ayahnya (Wail). Tuhfatul Ahwadzi II : 134

Hemat kami sanad Hamam bin Yahya dari Muhammad bin Jahadah riwayat Abu Daud tersebut memang munqathi, karena Abdul Jabar tidak mendengar hadis tersebut dari ayahnya (Wail). Namun bila kita perhatikan sanad Al Baihaqi di bawah ini ternyata Abdul Jabar menerima hadis tersebut dari ibunya (istri Wail/Ummu Yahya), ia menerima dari Wail (suaminya).

أَخْبَرَنَا أَبُوْ بَكْرٍ الْحَارِثُ الْفَقِيْهُ أَنْبَأَنَا أَبُوْ مُحَمَّدِ بْنِ حَيَّانَ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَ ثَنَا أَبُوْ كُرَيْبٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُجْرٍ ثَنَا سَعِيْدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أُمِّهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ الله ثُمَّ سَجَدَ وَكَانَ أَوَّلُ مَا وَصَلَ إِلَى الأَرْضِ رُكْبَتَاهُ

Abu Bakar al-Harits al-Faqih telah mengabarkan kepada kami, Abu Muhamad bin Hayyan telah mengabarkan kepada kami, Muhamad bin Yahya telah menceritakan kepada kami, Abu Kureb telah menceritakan kepada kami, Muhamad bin Hujr telah menceritakan kepada kami, Sa’id bin Abdul Jabbar telah menceritakan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ibunya, dari Wail bin Hujr, ia berkata, “Aku Salat di belakang Rasul kemudian beliau sujud dan yang paling awal sampai ke lantai adalah kedua lututnya. (Lihat, as-Sunanul Kubra, II:99)

Dengan demikian sanad hadis tersebut muttashil (bersambung), dan dapat dipergunakan sebagai syahid (penguat) bagi hadis Anas bin Malik dan Abu Hurairah sehingga derajat keduanya naik menjadi hasan lighairihi dan dapat diamalkan. 

Dari berbagai argumentasi di atas kami berkesimpulan bahwa hadis mendahulukan lutut ketika hendak turun ke sujud adalah shahih.

C. Kedudukan Riwayat Ad-Darawardi

Hemat kami, hadis tentang mendahulukan tangan daripada lutut dapat dikategorikan daif karena semua sanadnya melalui seorang rawi bernama Abdul Aziz bin Muhamad ad-Darawardi. Ulama al-jarh wat ta’dil (kritikus rawi) telah memberikan penilaian kepada ad-Darawardi sebagai berikut:

قَالَ أَبُوْ زُرْعَةَ سَيِّءُ الْحِفْظِ فَرُبَّمَا حَدَّثَ مِنْ حِفْظِهِ الشَّيْءَ وَقَالَ النَّسَائِيُّ عَبْدُ الْعَزِيْزِ الدَّرَاوَرْدِي لَيْسَ بِالْقَوِيِّ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ وَحَدِيْثُهُ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ مُنْكَرٌ

Abu Zur’ah berkata, “Dia buruk hapalan, terkadang ia menceritakan sesuatu dari hapalannya” An-Nasai berkata, “Abdul Aziz Ad-Darawardi tidak kuat” Dan di pada tempat lain ia berkata, “Tidak apa-apa, dan hadisnya dari Ubaidullah bin Umar adalah munkar” Tahdzibul Kamal, XVIII:194

Penilaian sayyiul hifzhi terhadap Ad-Darawardi dari segi dhabt (hafalan)-nya, bukan adalat-nya. Pentajrihan terhadap seorang rawi yang seperti ini dapat kita terima selama rawi itu tafarrud (sendirian dalam meriwayatkan hadis) atau mukhalafah (bertentangan) dengan rawi yang tsiqat (kuat). Namun bila rawi itu tidak taffarud, artinya ia meriwayatkan hadis seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi lain yang tsiqat selain dia, maka hadisnya dapat diterima.

Dengan demikian, penilaian para ulama di atas terhadap Ad-Darawardi sama statusnya dengan penilaian terhadap Syarik, yakni tidak berarti menolak seluruh hadis yang diriwayatkannya, namun  bergantung atas tafarrud atau tidaknya Ad-Darawardi dalam meriwayatkan hadis. Itulah sebabnya Imam Muslim menggunakan rawi seperti ini di dalam Shahih-nya, karena semua periwayatan Ad-Darawardi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tidak tafarrud, seperti pada kitabul iman, bab

بَابُ الدَّلِيْلِ عَلَى أَنَّ مَنْ رَضِيَ اللهَ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَإِنِ ارْتَكَبَ الْمَعَاصِيَ وَ الْكَبَائِرَ

Bab dalil bahwa orang yang ridha terhadap Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhamad sebagai Rasul, maka dia mukmin meskipun melakukan maksiat dan dosa besar. Shahih Muslim, I:40

Karena periwayatan Ad-Darawardi di atas diperkuat oleh rawi lain bernama Al-Laits seperti pada riwayat At-Tirmidzi (lihat, Tuhfatul Ahwadzi VII:372). Rawi seperti ini oleh Imam Muslim dimasukkan ke dalam rawi-rawi kelompok kedua, yaitu rawi-rawi yang memiliki sifat ‘adalah hanya tingkatan hafizh dan mutqin-nya di bawah kelompok pertama.

Demikian pula halnya dengan Imam Al-Bukhari, beliau menggunakan Ad-Darawardi ini selalu maqrunan (disertai) oleh rawi lain yang tsiqah, seperti Abdul Aziz bin Abu Hazim pada bab Sifatul Jannah wan Nar (lihat, Fathul Bari XI:509, No. 6564)

Dengan demikian, untuk menerima periwayatan Ad-Darawardi tentang mendahulukan tangan ketika hendak sujud diperlukan mutabi’ yang tsiqat. Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada satupun rawi yang tsiqat yang memperkuat periwayatannya. Adapun periwayatan rawi lain bernama Abdullah bin Nafi as-Shaig (H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud I:193; An-Nasai, As-Sunanul Kubra I:229; At-Tirmidzi, Tuhfatul Ahwadzi II:139), tidak dapat dijadikan mutabi’, karena  Abddulah bin Nafi rawi yang daif sebagaimana dinyatakan para ulama sebagai berikut:.

قَالَ أَبُوْ حَاتِمٍ لَيْسَ بِالْحَافِظِ هُوَ لَيِّنٌ فِي حِفْظِهِ وَكِتَابُهُ أَصَحُّ وَقَالَ الْبُخَارِيُّ فِي حِظْفِهِ شَيْءٌ

Abu Hatim berkata, “Dia tidak hafizh, dia lemah pada hapalannya” Dan al-Bukhari berkata, “Pada hapalannya terdapat sesuatu” Tahdzibul Kamal, XVI:210

قَالَ أَبُوْ زُرْعَةَ : مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ

Abu Zur’ah berkata, “Munkarul Hadits” Ta’liq ‘Ala Tahdzibil Kamal, XVI:210

قَالَ ابْنُ حَجَرٍ : فِى حِفْظِهِ لَيِّنٌ

Ibnu Hajar berkata, “Lemah pada hapalannya” Taqribut Tahdzib, I:318

Dr. Nuruddin ‘Itr menerangkan bahwa rawi yang dijarah dengan dua martabat ini (seperti layyinul hadits, sayyiul hifzhi, dan lain-lain) maka kedudukan hadisnya di’tibar, yaitu dicari riwayat-riwayat lain yang menguatkannya sehingga bisa dipakai hujjah. (lihat, Manhajun Naqd, 1981:112)

Berdasarkan keterangan di atas, periwayatan Ad-Darawardi tentang mendahulukan tangan sebelum lutut ketika hendak sujud tidak dapat diterima karena Ad-Darawardi tidak memiliki mutabi yang tsiqat yang dapat memperkuat periwayatannya.

Dengan demikian hadis mendahulukan tangan ketika hendak turun ke sujud adalah daif.

D. Kedudukan Atsar (Riwayat) Ibnu Umar

Para ulama yang berpendapat mendahulukan tangan di samping berhujjah dengan hadis Abu Huraerah, juga bersandar pada riwayat Ibnu Umar, baik secara marfu (amaliah Nabi) maupun mauquf (amaliah Ibnu Umar sendiri, sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَن رَسُولُ اللهِ ص كَانَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw. apabila sujud beliau menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” H.r. Ad Daraquthni, Sunan Ad Daraquthni I : 27

قَالَ نَافِعٌ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.

Nafi berkata, “Ibnu Umar, beliau menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” H.r. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah I:318-319; Ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni I:344; At-Thahawi, Syarah Ma’anil Atsar I:254; Al-Hakim, al-Mustadrak I:226; Al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra II:100.

Namun menurut penelitian kami riwayat Ibnu Umar, baik yang marfu’ maupun yang mauquf, keduanya dha’if karena pada sanad keduanya terdapat rawi Ad Darawardi yang telah dijelaskan di atas.

Berdasarkan pertimbangan di atas kami berkesimpulan:

1.  Hadis mendahulukan tangan ketika hendak sujud adalah daif sanadnya dan maqlub (terbalik) matan (redaksi)-nya.

2.  Mendahulukan tangan ketika hendak sujud menyerupai burukul ba’ir (menderumnya unta) dalam hal nunggingnya. Dan hal ini yang dilarang oleh Rasulullah saw

E. Fiqih al-Bukhari

Ada yang berpendapat bahwa riwayat Ibnu Umar di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq (dihilangkan sanadnya). Dengan demikian hadis tersebut dapat dipakai hujjah dan al-Bukhari berpendapat bahwa ketika hendak sujud mendahulukan tangan sebelum lutut. Benarkah demikian?

Sebagaimana telah kami jelaskan bahwa atsar Ibnu Umar tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah I:318-319; Ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni I:344; At-Thahawi, Syarah Ma’anil Atsar I:254; Al-Hakim, al-Mustadrak I:226; Al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra II:100. Atsar tersebut dha’if karena pada semua sanadnya terdapat rawi Ad Darawardi yang telah dijelaskan di atas.

Imam al-Bukhari lebih mengetahui terhadap status kedaifan atsar tersebut, meskipun demikian beliau mencantumkannya dalam kitab Shahih-nya. Karena itu pemahaman terhadap atsar itu harus dilihat dari sudut paradigma fiqh al-Bukhari, bukan dari sudut fiqih pembaca atsar itu. Dalam konteks inilah kita kaji maksud beliau dengan pencantuman atsar tersebut.

Atsar Ibnu Umar tersebut ditempatkan oleh al-Bukhari pada kitabul Adzan bab

بَاب يَهْوِي بِالتَّكْبِيرِ حِينَ يَسْجُدُ وَقَالَ نَافِعٌ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Pada bab ini al-Bukhari mencantumkan tiga hadis

Pertama:

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ وَأَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ وَغَيْرِهَا فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ فَيُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ ثُمَّ يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ يَقُولُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ قَبْلَ أَنْ يَسْجُدَ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَسْجُدُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ مِنْ الْجُلُوسِ فِي الِاثْنَتَيْنِ وَيَفْعَلُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ الصَّلَاةِ ثُمَّ يَقُولُ حِينَ يَنْصَرِفُ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَقْرَبُكُمْ شَبَهًا بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ كَانَتْ هَذِهِ لَصَلَاتَهُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

Kedua:

قَالَا وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ يَدْعُو لِرِجَالٍ فَيُسَمِّيهِمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَيَقُولُ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ وَأَهْلُ الْمَشْرِقِ يَوْمَئِذٍ مِنْ مُضَرَ مُخَالِفُونَ لَهُ

Ketiga:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ غَيْرَ مَرَّةٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَقَطَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ فَرَسٍ وَرُبَّمَا قَالَ سُفْيَانُ مِنْ فَرَسٍ فَجُحِشَ شِقُّهُ الْأَيْمَنُ فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ نَعُودُهُ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَصَلَّى بِنَا قَاعِدًا وَقَعَدْنَا وَقَالَ سُفْيَانُ مَرَّةً صَلَّيْنَا قُعُودًا فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا قَالَ سُفْيَانُ كَذَا جَاءَ بِهِ مَعْمَرٌ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ لَقَدْ حَفِظَ كَذَا قَالَ الزُّهْرِيُّ وَلَكَ الْحَمْدُ حَفِظْتُ مِنْ شِقِّهِ الْأَيْمَنِ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ الزُّهْرِيِّ قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ وَأَنَا عِنْدَهُ فَجُحِشَ سَاقُهُ الْأَيْمَنُ

Muthabaqah (Relevansi) atsar Ibnu Umar terhadap judul bab di atas dilihat dari ketercakupannya dalam kalimat al-hawi bit takbir ilas sujud (turun dengan takbir ke sujud), yaitu al-hawi sebagai fi’lun (perbuatan) dan at-takbir sebagai qaulun (ucapan). Karena itu, melalui judul bab tersebut al-Bukhari hendak menjelaskan bahwa al-hawi ilas sujud itu memiliki dua sifat; a. sifat fi’liyyah (gerakan) dan sifat qauliyyah (ucapan). Atsar Ibnu Umar ditempatkannya pada bab ini sebagai isyarat kepada sifat fi’liyyah. Sedangkan atsar Abu Huraerah sebagai isyarat kepada sifat fi’liyyah dan qauliyyah (Lihat, Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari, VI:78).

Dengan demikian, atsar itu digunakan oleh al-Bukhari untuk memperkuat landasan atau pijakan fiqihnya (dilalah isyarah kepada sifat fi’liyyah) bukan sebagai pinjakan dalam menetapkan bahwa ketika akan sujud disyariatkan mendahulukan tangan karena beliau lebih paham bahwa hadis daif tidak dapat dijadikan landasan syariat.

قوله : ( باب يهوي بالتكبير حين يسجد ) قال ابن التين : رويناه بالفتح وضبطه بعضهم بالضم والفتح أرجح , ووقع في روايتنا بالوجهين . قوله : ( كان ابن عمر إلخ ) وصله ابن خزيمة والطحاوي وغيرهما من طريق عبد العزيز الدراوردي عن عبيد الله عن عمر عن نافع بهذا وزاد في آخره ” ويقول : كان النبي صلى الله عليه وسلم يفعل ذلك ” قال البيهقي : كذا رواه عبد العزيز ولا أراه إلا وهما , يعني رفعه . قال : والمحفوظ ما اخترنا . ثم أخرج من طريق أيوب عن نافع عن ابن عمر قال ” إذا سجد أحدكم فليضع يديه , وإذا رفع فليرفعهما ” اهـ . ولقائل أن يقول : هذا الموقوف غير المرفوع , فإن الأول في تقديم وضع اليدين على الركبتين والثاني في إثبات وضع اليدين في الجملة. واستشكل إيراد هذا الأثر في هذه الترجمة , وأجاب الزين بن المنير بما حاصله : أنه لما ذكر صفة الهوي إلى السجود القولية أردفها بصفته الفعلية , وقال أخوه : أراد بالترجمة وصف حال الهوي من فعال ومقال ا هـ . والذي يظهر أن أثر ابن عمر من جملة الترجمة , فهو مترجم به لا مترجم له , والترجمة قد تكون مفسرة لمجمل الحديث وهذا منها , وهذه من المسائل المختلف فيها . قال مالك : هذه الصفة أحسن في خشوع الصلاة , وبه قال الأوزاعي , وفيه حديث عن أبي هريرة رواه أصحاب السنن , وعورض بحديث عنه أخرجه الطحاوي , وقد روى الأثرم حديث أبي هريرة ” إذا سجد أحدكم فليبدأ بركبتيه قبل يديه , ولا يبرك بروك الفحل , ولكن إسناده ضعيف . وعند الحنفية والشافعية الأفضل أن يضع ركبتيه ثم يديه , وفيه حديث في السنن أيضا عن واثل بن حجر قال الخطابي : هذا أصح من حديث أبي هريرة , ومن ثم قال النووي : لا يظهر ترجيح أحد المذهبين على الآخر من حيث السنة ا هـ . وعن مالك وأحمد رواية بالتخيير , وادعى ابن خزيمة أن حديث أبي هريرة منسوخ بحديث سعد قال ” كنا نضع اليدين قبل الركبتين , فأمرنا بالركبتين قبل اليدين ” وهذا لو صح لكان قاطعا للنزاع , لكنه من أفراد إبراهيم بن إسماعيل بن يحيى بن سلمة بن كهيل عن أبيه وهما ضعيفان . وقال الطحاوي : مقتضى تأخير وضع الرأس عنهما في الانحطاط ورفعه قبلهما أن يتأخر وضع اليدين عن الركبتين لاتفاقهم على تقديم اليدين عليهما في الرفع . وأبدى الزين بن المنير لتقديم اليدين مناسبة وهي أن يلقى الأرض عن جبهته ويعتصم بتقديمهما على إيلام ركبتيه إذا جثا عليهما , والله أعلم .

Permasalahan:

1. Permasalahan di mana lutut unta antara di kaki depan atau di kaki belakang, sejak dahulu hingga sekarang tetap menjadi perdebatan. Dan perdebatan itu dalam konteks analisis kesahihan dan kedaifan matan antara “yang mendahulukan tangan” …dengan “yang mendahulukan lutut”.
2. Ulama yang mensahihkan hadis “mendahulukan tangan” menilai hadis “mendahulukan lutut” itu daif karena matan hadis itu rancu, dengan alasan kedua lutut unta itu pada “kedua tangannya” (pada kedua kaki depannya), bukan kaki belakangnya, seperti yang dikemukakan oleh Imam at-Thahawi (w. 321 H)

Namun pendapat ini telah dibantah oleh Ibnul Qayyim (w. 751 H) dari berbagai aspek, antara lain: (artinya) “Sesungguhnya perkataan mereka bahwa lutut unta terletak di tangan adalah perkataan yang tidak dapat dipahami dan tidak dikenal oleh …ahli bahasa. Sesungguhnya lutut itu terletak di kaki. Kalaupun istilah lutut digunakan untuk yang terletak di tangan maka itu ditinjau dari kebiasaan penggunaannya. Andaikata (maksud hadis) sebagaimana yang mereka utarakan, mestinya redaksi hadis itu: “Maka hendaklah ia (orang yang salat) menderum sebagaimana menderumnya unta.” Dan anggota badan unta yang pertama kali menyentuh tanah adalah kedua tangannya (kaki depan). Di sinilah inti masalahnya, yaitu siapa yang mau memikirkan/merenungkan menderumnya unta, dan mengetahui bahwa Rasulullah saw. melarang dari menderum sebagaimana menderumnya unta, pasti orang tersebut mengetahui bahwa hadis Wa’il bin Hujr adalah yang benar” Wallahu A’lam. Lihat, Zad al-Ma’ad fi Hady Khair al-‘Ibad, I:225-226
Namun pendapat Ibnul Qayyim di atas dibantah pula oleh ulama seperti dikemukakan oleh Syekh Salim bin ‘Ied al-Hilali: “Sepertinya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah belum sepenuhnya memahami hal ini, ia berkata dalam kitab Zaadul ‘Ma’aad (I/255), “Se…sungguhnya perkataan mereka bahwa lutut unta terletak di tangan adalah perkataan yang tidak dapat dipahami dan tidak dikenal oleh ahli bahasa. Sesungguhnya lutut itu terletak di kaki. Kalaupun istilah lutut digunakan untuk yang terletak di tangan maka itu ditinjau dari kebiasaan penggunaannya.” Saya katakan, “Semoga Allah memaafkan Ibnu Qayyim, ahli bahasa dan ahli fiqih justru mengenalnya.”
Sehubungan dengan itu, Dan Jika tangan bukan dianalogikan pada kaki depan unta dan lutut bukan pada kaki belakangnya dalam pengqiasan menunggingnya manusia seperti unta, lalu yang manakah tangan unta?sejak awal yang menjadi focus kami dalam masalah ini justru bukan pada matan, namun pada sanad. Karena jika sanadnya daif, maka dengan sendirinya matan hadis itu menjadi “gugur” bila tidak dapatkan syahid atau mutabi’ yang sahih atau hasan. Jadi Hadits mendahulukan lutut secara sanad dan matan adalah lebih kuat. Wallahu a’lam bishawab
Untuk pembahasan lebih lanjut, berikut amalan-amalan serta fatwa-fatwa para shahabat dan ulama disertai dengan penjelasan matannya. Klik Disini