Barangsiapa yang ilmunya tidak membuat dia takut kepada Allah Subhanahu wata'ala, maka ia tertipu

Monthly Archives: November 2010

Pengertian Qunut

Kata Qunut secara bahasa memiliki banyak makna, di antaranya:

a.  Ad-Du’a (Doa), dan makna ini yang paling masyhur (populer), sebagaimana dikatakan oleh Imam az-Zujaj:

الْمَشْهُورُ فِي اللُّغَةِ أَنَّ الْقُنُوتَ الدُّعَاءُ

“Yang populer dalam bahasa bahwa makna qunut adalah doa” (Lihat, Taj al-‘Arus, V:45)

Imam an-Nawawi menerangkan:

أَنَّ الْقُنُوتَ يُطْلَقُ عَلَى الدُّعَاءِ بِخَيْرٍ وَشَرٍّ ، يُقَال : قَنَتَ لَهُ وَقَنَتَ عَلَيْهِ

“Bahwa kata qunut digunakan dalam makna doa, baik doa kebaikan maupun kejelekan. Dikatakan: qanata lahu (berdoa kebaikan untuknya) dan qanata ‘alaih (berdoa kejelekan atasnya)”. (Lihat, Tahrir Alfazh at-Tanbih, hal. 73)

b.  At-Tha’ah (taat), sebagaimana terkandung pada firman Allah:

لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَالأَْرْضِ كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ

“apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya” Q.s. Al-Baqarah:116

Kata Ikrimah, tentang firman Allah: kullu lahu qanitin, “Dikatakan: al-Qanit al-muthi’ (yang taat)” Lihat, Tahdzib al-Lughah, III:196

c.  As-Shalah (salat), sebagaimana terkandung pada firman Allah:

يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ (2) آل عمران / 43

“Hai Maryam, qunutlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku” Q.s. Ali Imran:43

Kata Imam as-Syaukani: “(makna ayat) panjangkanlah berdiri (berdiri lama) dalam salat atau dawamkanlah salat” (Lihat, Fath al-Qadir, I:510)

d.  Thul al-Qiyam (berdiri lama), sebagaimana terkandung pada sabda Nabi saw.:

أَفْضَل الصَّلاَةِ طُول الْقُنُوتِ

“Salat yang paling utama adalah yang lama berdirinya” Hr. Muslim, Shahih Muslim, I:520, Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, I:456, dan Ahmad, al-Musnad, III:302.

Dan ucapan Ibnu Umar sebagai berikut:

سُئِل ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ الْقُنُوتِ ، فَقَال : مَا أَعْرِفُ الْقُنُوتَ إِلاَّ طُول الْقِيَامِ ، ثُمَّ قَرَأَ قَوْله تَعَالَى: { أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْل سَاجِدًا وَقَائِمًا }  الزمر / 9

Ibnu Umar ditanya tentang qunut. Maka beliau menjawab, “Saya tidak mengetahui makna qunut selain berdiri lama” Lalu beliau membaca firman Allah: (artinya) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri (Q.s. Az-Zumar:9). H.r. Abu Ubed al-Qasim bin as-Salam

e.  As-Sukut (diam), sebagaimana terkandung pada ucapan Zaid bin Arqam:

كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلاَةِ ، يُكَلِّمُ الرَّجُل صَاحِبَهُ وَهُوَ إِلَى جَنْبِهِ فِي الصَّلاَةِ حَتَّى نَزَلَتْ { وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ } (1) البقرة / 238 .فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ وَنُهِينَا عَنِ الْكَلاَمِ

“Kami bercakap-cakap dalam salat, seseorang berbicara kepada sahabatnya yang berada di sampingnya ketika salat hingga turun ayat: wa quumuu lillahi qaanitin (al-baqarah:238). Maka kami diperintah diam dan dilarang berbicara” H.r. al-Bukhari dan Muslim

Sedangkan secara istilah, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Allan:

الْقُنُوتُ عِنْدَ أَهْل الشَّرْعِ اسْمٌ لِلدُّعَاءِ فِي الصَّلاَةِ فِي مَحَلٍّ مَخْصُوصٍ مِنَ الْقِيَامِ

“Qunut menurut ahli syariat adalah nama bagi doa dalam salat pada tempat (posisi) tertentu waktu berdiri” Lihat, al-Futuhat ar-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar an-Nawawiyyah, II:286

Tarikh Tasyri’ (Sejarah Penetapan Syariat Qunut)

Selama perjalanan dakwah Rasulullah saw., sungguh banyak musibah yang menimpa umat Islam, baik yang bersifat alami maupun karena faktor manusiawi, yaitu sifat hasud yang menimbulkan kezaliman.

Musibah karena faktor manusiawi pernah dialami oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya, terutama pada periode Mekah. Amar bin Yasir, Bilal bin Rabbah, dan sahabat lainnya, bahkan Rasul sendiri pernah diganggu oleh tokoh-tokoh Quraisy ketika salat di Masjidil Haram. Demikian pula ketika hijrah ke Madinah, musibah itu bukan berkurang bahkan terlalu banyak untuk dihitung. Meskipun demikian, pada umumnya musibah-musibah itu disikapi oleh beliau dengan berdoa biasa.

Namun ketika terjadi empat musibah besar, Rasulullah saw. menyikapinya secara berbeda. Sikap beliau itu menunjukkan bahwa musibah itu merupakan sesuatu yang “luar biasa” bagi beliau. Adapun musibah itu adalah sebagai berikut:

Pertama, pada tahun ke-2 hijrah, ketika pribadi-pribadi muslim berada dalam cengkraman kafir karena meninggalkan kemusyrikannya. Mereka mati terbunuh ketika hendak menemui Nabi saw. di Madinah, antara lain al-Walid bin al-Walid bin al-Mughirah, saudaranya Khalid bin al-Walid. Ia termasuk salah seorang di antara 70 orang dari kaum musyrik yang ditawan pada perang Badar. Setelah dibebaskan oleh saudaranya Hisyam dan Khalid, ia masuk Islam. Karena itu, ia dilecehkan dan ditahan oleh kaum musyrik di Mekah. Maka Nabi mendoakan keselamatan bagi dirinya waktu qunut, sebagaimana diterangkan oleh Abu Hurairah:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو فِي دُبُرِ صَلَاةِ الظُّهْرِ اللَّهُمَّ خَلِّصِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ وَضَعَفَةَ الْمُسْلِمِينَ مِنْ أَيْدِي الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا – رواه أحمد –

Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah berdoa pada akhir salat dzuhur, ‘Ya, Allah, selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayasy bin Abu Rabi’ah, dan kaum muslimin yang lemah, dari kezhaliman orang musyrik, mereka tidak mampu untuk keluar dari mereka’.” H.r. Ahmad

Pada riwayat Al-Bukhari diterangkan secara tegas dengan beberapa redaksi:

  • كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَرُبَّمَا قَالَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ …

Beliau bila hendak mendoakan kecelakan atas seseorang atau mendoakan kebaikan bagi seseorang, beliau qunut sesudah ruku (kadang-kadang Abu Huraerah berkata) sesudah mengucapkan sami’allahu liman hamidah, ya Allah selamatkanlah al-Walid bin al-Walid

  • قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو فِي الْقُنُوتِ اللَّهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ…

Nabi saw. berdoa waktu qunut, ‘Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyam, ya Allah…

  • كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ …

bila bangkit dari ruku terakhir beliau berdoa, ‘Ya Allah selamatkanlah Ayyasy bin Abu Mu’awiyah…

Doa Nabi diijabah, ia dapat meloloskan diri dari tawanan itu dan bertemu dengan Nabi saw. waktu Umrah al-Qadha. Lalu ia mengirim surat kepada saudaranya Khalid bin al-Walid agar masuk Islam. Melalui wasilah al-Walid inilah Khalid pun tertarik kepada Islam. Setelah Rasulullah saw. kembali ke Madinah, al-Walid bermaksud menyusul beliau. Namun sebelum sampai tujuan, ia dibantai oleh kaum kafir. (lihat, Al-Ishabah fi Tamyizis Shahabah, Juz VI, h. 590; Al-Isti’ab, IV:118-119)

Kedua, pada tahun ke-3 hijiriah ketika kaum Quraisy ingin menuntut balas atas kematian para pemimpin dan tokoh mereka yang tewas pada perang badar. Kekuatan Quraisy yang berjumlah 3000 orang dengan motif balas dendam, menyerang kaum muslimin yang berjumlah 600 orang yang  motifnya mempertahankan akidah, iman, dan agama Allah. Pada pertempuran ini, pahlawan-pahlawan teladan dari kalangan muslimin jatuh berguguran. Bahkan Rasul sendiri mengalami luka yang cukup serius, dengan wajah dan bibir pecah-pecah, serta dua buah gigi serinya tanggal. Nabi Muhamad berhasil lolos dari maut. Dengan segelintir sahabat yang masih hidup, beliau mendaki gunung Uhud, dan dapat menyelamatkan diri dari kejaran musuh.  Menurut Ibnu Jarir, sambil mengusap darah yang bercucuran pada wajahnya, beliau mengatakan, “Mengapa berjaya kaum yang mewarnai wajah nabi mereka dengan darah, padahal ia menyeru mereka kepada Allah” (Al-Kamil fit Tarikh, II:155) Sedangkan dalam riwayat Muslim diterangkan.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ وَيَقُولُ كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ )  – رواه مسلم –

Sesungguhnya Rasulullah saw. pecah giginya pada perang Uhud dan luka di kepalanya,  …dan beliau berkata, ‘Mengapa berjaya kaum yang melukai Nabi mereka dan memecahkan giginya, padahal ia menyeru mereka kepada Allah, maka Allah menurunkan (ayat) laisa laka minal amri syaiun.”

Ayat laisa laka minal amri syaiun (Q.s. Ali Imran:128) diturunkan pada tahun ke-3 hijriah. Adapun maksud ayat tersebut, Allah swt. menerangkan taqsim atautanwi’  dengan menggunakan kata-kata au, yakni menerangkan golongan kafir yang menerima bermacam-macam nasib. Allah menakdirkan terjadinya peperangan, antara lain perang Uhud, yaitu Allah hendak membagi manusia kafir menjadi beberapa macam, ada sebagian yang musnah binasa, dan ada golongan yang lemah rendah, ada golongan yang diberi tobat, dan ada golongan yang disiksa, dan dalam ketentuan tersebut semuanya ada pada kekuasaan Allah, tidak ada sedikitpun wewenang dan kekuasaan pada kamu (wahai Muhamad) (Istifta, K.H.E. Abdurrahman)

Adapun sikap Rasulullah saw. dalam menghadapi peristiwa ini dapat kita lihat dari penjelasan para sahabat, antara lain Ibnu Umar:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَرَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ قَالَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ فِي الْأَخِيرَةِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ ) – رواه البخاري –

“Sesungguhnya Nabi saw. pada salat shubuh ketika bangkit dari ruku mengucapkan allahumma rabbana walakal hamdu, kemudian berdoa, ‘Ya Allah, laknatlah si Pola dan si Polan, maka Allah menurunkan (ayat) laisa laka minal amri…” H.r. Al-Bukhari

Sedangkan orang-orang yang didoakan oleh Nabi, dijelaskan pada riwayat Ahmad sebagai berikut:

اللَّهُمَّ الْعَنِ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ الْعَنْ سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو اللَّهُمَّ الْعَنْ صَفْوَانَ بْنَ أُمَيَّةَ قَالَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ  (لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ) قَالَ فَتِيبَ عَلَيْهِمْ كُلِّهِمْ – أحمد –

“Ya Allah laknatlah al-Harits bin Hisyam, ya Allah laknatlah Suhail bin Amr, ya Allah laknatlah Shafwan bin Umayyah (Ibnu Umar berkata) maka turun ayat ini laisa laka…(Ibnu Umar berkata) Lalu tobat mereka diterima” H.r. Ahmad

Ketiga, Rombongan ‘Adhl dan al-Qarah, kaum kafir dari kabilah Banu Lihyan, memohon kepada Rasulullah agar mengirimkan para muballigh. Tapi ternyata mereka berkhianat, 8 orang di antara utusan  Rasul yang dipimpin Ashim bin Tsabit (kakek Ashim bin Umar bin Khatab) itu dibunuh dengan cara yang kejam, di pangkalan air milik Hudzail di daerah yang disebut ar-Raji’ (sekitar Hijaz), sedangkan 2 orang ditangkap dan ditawan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Kedua orang tersebut ialah Khubaib bin ‘Adi dan Zaid bin ad-Datsinah. Dalam keadaan terkepung dan sebelum dibunuh, Ashim berdoa:

أَللَّهُمَّ أَخْبِرْ عَنَّا نَبِيَّكَ

“Ya Allah, kabarkanlah kepada nabi-Mu tentang kami” .

Peristiwa itu terkenal dengan nama ar-Raji’ (Lihat, Fathul Bari, VII:130-131;Tarikh at-Thabari, II:77; As-Sirah an-Nabawiyyah libni Hisyam, IV:123;) Continue reading


Sabtu (6/11/10) bertepatan dengan 29 Zulqaidah 1431 H merupakan saat pelaksanaan rukyatul hilal untuk menentukan awal bulan Zulhijjah tahun 1431 Hijriyah. Sore ini untuk wilayah Yogyakarta, Matahari terbenam pada pukul 17:35 WIB pada azimuth 253°42′. Tinggi bulan saat Matahari terbenam 1°17′ di atas ufuk pada azimuth 249°32′ dengan posisi berada di kiri-atas Matahari.  Bulan terbenam 7 menit setelah Matahari yaitu pada pada 17:42 WIB. Secara astronomis pada ketinggian seperti ini mustahil hilal dapat dirukyat.

Tim Rukyat RHI Yogyakarta merencanakan akan melakukan rukyatul hilal di POB Bela-belu,i Parangkusumo Yogyakarta pada Sabtu, 6 November 2010  bersama Tim BHR DIY. Namun demikian pada hari berikutnya yaitu Minggu, 7 November 2010 rukyat kembali akan dilakukan dari lokasi yang sama. Rukyat hilal kali juga direncanakan akan disiarkan secara live via internet. Hasil Streaming rukyatul hilal ini dapat dilihat di website berikut :  http://rukyatulhilal.org/hilal.

Seperti kita ketahui, penetapan awal Zulhijjah adalah sangat penting. Hal ini terkait ditetapkannya tanggal 9 Zulhijjah sebagai Hari Arafah dan 10 Zulhijjah sebagai Hari Raya Idul Adha. Seperti pernah juga terjadi sebelumnya, penetapan Idul Adha kali ini diperkirakan akan bermasalah, sebab Muhammadiyah secara resmi sudah mengumumkan Idul Adha jatuh pada 16 November 2010 sementara pemerintah tetap masih menunggu hasil rukyat yang akan diumumkan pada Sidang Itsbat. Diperkirakan keputusan itsbat ini justru akan menetapkan Idul Adha akan jatuh pada Rabu, 17 November 2010 seperti yang tercantum dalam banyak kalender yang beredar di masyarakat.

Konjungsi /Ijtimak Awal Bulan (New Moon)

Terjadi pada :

Sabtu Pon, 6 November 2010 @ 11:54 WIB – 12:54 WITA – 13:54  WIT atau 04:54 UT

 

Visibilitas (kenampakan) Hilal pada hari terjadinya Ijtimak selepas matahari terbenam di seluruh dunia khususnya kawasan Indonesia ditunjukkan pada gambar peta di bawah ini.  Peta visibilitas mengacu pada Kriteria Odeh yang mengadopsi Limit Danjon sebesar 7° elongasi Bulan-Matahari yaitu syarat hilal agar terlihat dengan mata telanjang. Kriteria tersebut dikemas dalam sebuah software Accurate Times yang menjadi acuan pembuatan peta visibilitas ini.

KETERANGAN :

  • Sangat tidak mungkin daerah yang berada di bawah arsiran MERAH (E) dapat menyaksikan hilal, sebab pada saat itu Bulan  terbenam lebih dulu sebelum Matahari terbenam. Continue reading

MUSAFIR BOLEH TIDAK JUMAT

(Telaah Metodologis Fatwa Dewan Hisbah Persis)

Oleh: Ibnu Muchtar

Islam adalah agama sempurna sehingga semua problema umat landasannya telah ditetapkan dalam Alquran dan sunah Rasulullah saw., mulai dari kaifiyat ibadah hingga masalah-masalah kontemporer yang muncul kemudian, baik dalam bidang sains, sosial maupun ekonomi. Meskipun demikian tidak banyak yang berhasil menelaah kesempurnaan Islam itu karena minimnya perangkat ilmu yang dimiliki.

Dewan Hisbah Persatuan Islam sebagai lembaga khusus pengkajian hukum-hukum Islam, menempatkan dirinya dalam menjaga kesempurnaan hukum Islam tersebut; menyelamatkan aqidah umat dan menyelamatkan umat dalam beraqidah, menyelamatkan ibadah umat dan menyelamatkan umat dalam beribadah, menyelamatkan muamalah umat dan menyelamatkan umat dalam bermuamalah. Namun Dewan Hisbah bukanlah pembuat hukum atau sumber hukum, karena sumber hukum hanyalah Alquran dan sunah atau pembuat hukum hanyalah Allah swt. dan Rasul-Nya. Dewan Hisbah hanyalah pengawas hukum agar hukum berlaku atau diberlakukan terutama dikalangan anggota Persatuan Islam, sekaligus mengawasi agar tidak terjadi praktik bid’ah, khurafat, dan takhayul.

Produk hukum Dewan Hisbah Persis ditetapkan dalam persidangan yang dihadiri oleh ulama Dewan Hisbah. Sidang dilakukan secara periodik.[1] Dewan Hisbah dapat mengundang pakar yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Keputusan Dewan Hisbah disiarkan melalui Pimpinan Pusat.

Secara teknis, mekanisme dan proses penetapan produk hukum Dewan Hisbah Persis berawal dari inventarisasi berbagai masalah yang penting yang perlu dibahas dan diputuskan dalam persidangan. Inventarisasi masalah penting tersebut ditempuh melalui tiga tahap, yakni inventarisasi, seleksi, dan sidang.

Tahap inventarisasi masalah dilakukan secara struktural yang melibatkan seluruh jajaran Persis ditingkat pusat, wilayah, daerah dan cabang di selulruh Indonesia. Dalam hal ini, Dewan Hisbah mengirim surat agar para pimpinan Persis melaporkan masalah-masalah penting yang menurut mereka perlu disidangkan dan menerima masukan langsung dari anggota dan simpatisan Persis.

Tahap kedua adalah tahap penyeleksian. Topik masalah-masalah penting yang disidangkan Dewan Hisbah  biasanya tidak lebih dari tujuh topik. Hasil laporan dari seluruh jajaran Persis tersebut diseleksi oleh tim dari sekretariat dengan meminta saran dan masukan dari Ketua Umum PP Persis. Tahap terakhir adalah persidangan. Setelah masalah tersebut terseleksi menjadi tujuh masalah penting (biasanya masalah aktual dan kontemporer yang sedang menjadi wacana umum), lalu disidangkan.

Proses persidangan untuk memutuskan masalah-masalah hukum Islam kontemporer yang telah tersleksi, dimulai dari ceramah atau presentasi makalah oleh seorang pembicara yang dipandang menguasai disiplin ilmu yang sedang dibicarakan. Selesai ceramah, moderator mempersilahkan kepada para peserta sidang yang terdiri dari para anggota Dewan Hisbah untuk menanggapi dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pemakalah. Lalu, tampil pembicara kedua, yakni salah seorang ulama anggota Dewan Hisbah yang dipandang ahli dalam disiplin syariat. Ia membawakan makalah tentang topik yang dibahas dari sudut tinjauan hukum Islam. Pada sesi kedua, tanya jawab dan diskusi intensif dilakukan antara pembicara (pemakalah) dan para anggota Dewan Hisbah yang hadir (peserta). Kesimpulan ceramah dan diskusi ini dirumuskan oleh sebuah tim (panitia) sehingga menjadi keputusan Dewan Hisbah. Hasil keputusan Dewan Hisbah itu diserahkan kepada PP Persis untuk disebarkan kepada PW, PD, PC Persis di seluruh Indonesia.

Sepanjang sejarah Dewan Hisbah sejak berdiri tahun 1956, yang waktu itu masih bernama Majelis Ulama[2], hingga tahun 2007, salat Jumat merupakan satu-satunya masalah salat yang tidak pernah berhenti dimuthalaah, dikaji ulang oleh para ulama persis, baik as-sabiqun al-awwalun (generasi awal) atau generasi salaf, khususnya A.Hasan dan kawan-kawan sehingga diterbitkannya buku Risalah Jumat[3] tahun 1956 dan 1972, pada kepemimpinan K.H.E. Abdurrahman[4] melalui rubrik Istifta Majalah Risalah[5], K.H.A.Qadir Hasan dalam Kata Berjawab[6], maupun generasi khalaf pasca K.H.E. Abdurrahman wafat tahun 1983.[7]

Pada generasi khalaf, paling tidak Dewan Hisbah telah 4 kali mengkaji masalah tersebut; Pertama, hari Ahad tanggal 5 Rabiuts Tsani 1415 H/11 September 1994 M di Jakarta, dengan topik Salat Jumat di Arafah. Kedua, hari Ahad tanggal 19 Shafar 1419 H/14 Juni 1998 di Bandung, dengan topik Salat Salat Dzuhur Pada Hari Raya Bertepatan Hari Jumat. Walaupun fokus analisisnya lebih ditujukan kepada status salat dzuhurnya, namun persoalan salat Jumat tetap dijadikan landasan utama. Ketiga, hari Jumat tanggal 23 Rabi’ul Awwal 1422 H/15 Juni 2001 M di di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri Kabupaten Bandung, dengan topik Hukum Salat Jumat Bagi Musafir. Keempat, hari Sabtu tanggal 3 Rabiuts Tsani 1428 H/22 April 2007 di Pesantren Persis Jamaah Cihamerang Banjaran Kabupaten Bandung, dengan topik yang sama.

Sebelum hasil keputusan Dewan Hisbah tahun 2007 itu diserahkan kepada PP Persis untuk disebarkan kepada PW, PD, PC Persis di seluruh Indonesia, keputusan masalah Jumat itu sudah tersebar di sebagian kalangan umat secara oral (dari mulut ke mulut), namun tampaknya terjadi distorsi (penyimpangan makna) sehingga yang dipahami oleh sebagian umat itu adalah “musafir tidak wajib Jumat”.

Setelah keputusan itu disebarkan secara resmi oleh PP Persis (secara tertulis dalam bentuk surat keputusan dan lampiran makalah) keputusan itu ditanggapi oleh umat secara beragam. Ada yang memahaminya seperti di atas. Ada pula yang mempertanyakan mengapa terjadi revisi pada sidang tersebut. Sebagian besar menghendaki penjelasan kerangka metodologis sehingga lahirnya keputusan sebagaimana tertuang dalam surat keputusan tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami sebagai tim yang terlibat langsung dalam proses penetapan hukum masalah itu merasa perlu untuk segera menyusun tafsir metodologis yang digunakan Dewan Hisbah dalam sidang itu dan kerangka pemikiran dalam mengistinbath masalah tersebut. Besar harapan kami semoga tulisan yang sederhana ini dapat meluruskan kesimpangsiuran sekaligus membangun pemahaman umat terhadap proses istinbath (pengambilan) hukum tersebut. Karena itu sumbang saran dan fikir untuk mengurangi kekeliruan yang tidak diharapkan senantiasa kami nantikan. Allah Maha mengetahui dan hanya Ia Maha Pengampun atas segala kekhilapan dan kealpaan


WUKUF BUKAN MUQADDAMAH WUJUD

Oleh: Ibnu Muchtar

 

Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Idul Adha ditetapkan berdasarkan waktu wukuf di Arafah. Dengan perkataan lain wukuf itu sebagai standar penetapan Iedul Adha. Istinbath ini ditetapkan berdasarkan sabda Nabi saw. tentang shaum ‘Arafah dalam hadis Abu Qatadah al-Anshari:

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Berdasarkan penamaan shaum ini dengan “shaumu yaumi ‘arafah” maka dipahami bahwa shaum Arafah itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah. Karena Idul Adha didahului oleh shaum hari Arafah, maka Idul Adha pun ditetapkan berdasarkan wukuf di Arafah itu.

Hemat kami, istinbath demikian tidak tepat dilihat dari beberapa aspek:

1. Latar belakang penamaan Arafah

Ibnu Abidin menjelaskan:

عَرَفَةُ إِسْمُ اليَوْمِ وَعَرَفَاتُ إِسْمُ المَكَانِ

“Arafah adalah ismul yaum (nama hari) dan Arafaat adalah ismul makan (nama tempat)” Hasyiah Raddil Mukhtar, II:192

Menurut Imam ar-Raghib, al-Baghawi, dan al-Kirmani Arafah adalah

إِسْمٌ لِلْيَوْمِ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الحِجَّةِ

Nama hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah. Continue reading


Seringnya perbedaan penetapan dalam menentukan Bulan Qamariyah (Berdasarkan Bulan) terutama dalam penetapan Iedul Fitri dan Iedul Adha, menimbulkan banyak pertanyaan bahkan ada sebagian yang dibuat bingung karenanya. Tentunya hal ini tidak bisa dibiarkan karena kita butuh kepastian dan setidaknya yang paling mendekati dengan Quran dan Sunnah, serta ketenangan dalam beribadah. Mengenai perbedaan penetapan waktu ini disebabkan perbedaan criteria, yaitu antara criteria wujudul hilal dan Imkanur rukyat. Mari kita kaji mana kah yang lebih kuat.

A.      Wujudul Hilal

Wujud artinya ada, sedangkan hilal adalah pantulan sinar bulan ke bumi yang berbentuk kelengkungan. Maksudnya adalah saat matahari tenggelam, hilal (bulan sabit muda) suda ada di atas ufuk mar’I (berapapun tingginya, terlihat atau tidak terlihat). Alas an diberlakukannya pendapat ini adalah dengan perkembangan IPTEK saat ini, posisi hlal sudah dapat dihitung secara teliti dan tidak diragukan (hampir pasti).

Untuk kelompok wujudul hilal awal bulan diteteapkan jika terpenuhi dua syarat berikut:

a.       Ijtima’ (posisi bulan dan matahari berada dalam satu bujur astronomis. Dilihat dari bumi, bulan sejajar dengan matahari) terjadi sebelum matahari terbenam.

b.      Saat ghurub (setelah itima’) hilal/bulan berada di atas ufuq mar’I (garis horizon/cakrawala yang terliat oleh mata seseorang). Berapa pun ketinggianna, terlihat ataupun tidak

Continue reading


Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur menetapkan Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah bertepatan pada Selasa, 16 November 2010. Hari Arafah 9 Dzulhijjah bertepatan pada Senin, 15 November 2010.

Sekretaris PW Muhammadiyah Jatim Nadjib Hamid menjelaskan, kepastian ini didapat setelah pihaknya memperoleh Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 05/MLM/I.0/2010. “Dalam maklumat tersebut ditetapkan pada Minggu, 1 Dzulhijjah jatuh pada 7 November 2010. Ini karena pada saat ijtimak 29 Dhulqo’idah jatuh pada Sabtu, 6 November 2010 pukul 11.53.04 WIB.” katanya.

Tinggi hilal pada saat matahari terbenam di Yogyakarta 01 derajat 34 menit 23 detik. Selain itu, Hilal sudah wujud di Tanjung Kodok, tinggi hilal 01 derajat 27 menit, 26.11 detik. Dengan demikian, lanjut Nadjib, maka pelaksaan Hari Raya Idul Adha jatuh pada 16 November.

Sementara dalam almanak Persatuan Islam 1431 H ditetapkan bahwa 1 Dzulhijjah 1431 H bertepatan pada Senin, 8 November 2010. Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah bertepatan pada Rabu, 17 November 2010. Hari Arafah 9 Dzulhijjah bertepatan pada Selasa, 16 November 2010.

Data di atas menunjukkan bahwa Idul Adha 10 Dzulhijjah 1431 H di Indonesia berpotensi  terjadi perbedaan, antara Selasa 16 November 2010 dengan Rabu 16 November 2010.

Perbedaan tersebut bukan karena berbeda hasil penghitungan, melainkan lebih disebabkan perbedaan kriteria. Continue reading


Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya, (terjemahannya seperti ini) “Katanya ada hadis yang menjelaskan bahwa siapa yang ingin berqurban atau keluarga yang diniatkan pahala untuk berqurban, maka ia tidak boleh mencukur bulu, rambut kepala dan juga memotong kuku sampai ia berqurban. Apakah larangan ini umum untuk seluruh anggota keluarga (yang diniatkan dalam pahala qurban), baik dewasa atau anak-anak? Ataukah larangan ini berlaku untuk yang sudah dewasa saja, tidak termasuk anak-anak?”

Jawab:

Kami tidak mengetahui lafazh hadits sebagaimana yang penanya sebutkan. Lafazh yang kami tahu sebagaimana shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan oleh al Jama’ah kecuali Al Bukhari yaitu dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha,

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzul Hijah (maksudnya telah memasuki satu Dzulhijah, pen) dan kalian ingin berqurban, maka hendaklah shohibul qurban membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan kukunya.” HR. Muslim no. 1977

Dalam lafazh lainnya,

مَنْ كَانَ لَهُ ذَبْحٌ يَذْبَحُهُ، فَإِذَا أَهَلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ، فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ، وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ

“Siapa yang punya binatang kurban dan apabila telah memasuki awal Dzulhijah (1 Dzulhijah), maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia berqurban.” HR. Muslim no. 1977

Maka hadis ini menunjukkan terlarangnya memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berqurban setelah memasuki 10 hari awal bulan Dzulhijah (mulai dari tanggal 1 Dzulhijah, pen).

Hadis pertama menunjukkan perintah untuk tidak memotong (rambut dan kuku). Asal perintah di sini menunjukkan wajibnya hal ini. Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang wajib ini. Sedangkan riwayat kedua adalah larangan memotong (rambut dan kuku). Asal larangan di sini menunjukkan terlarangnya hal ini, yaitu terlarang memotong (rambut dan kuku). Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang melarang hal ini.

Secara jelas pula, hadis ini khusus bagi orang yang ingin berqurban. Adapun anggota keluarga yang diikutkan dalam pahala qurban, baik sudah dewasa atau belum, maka mereka tidak terlarang memotong bulu, rambut dan kuku. Meraka (selain yang berniat qurban) dihukumi sebagaimana hukum asal yaitu boleh memotong rambut dan kulit dan kami tidak mengetahui adanya dalil yang memalingkan dari hukum asal ini. Continue reading


Sebagaimana telah kita maklumi bahwa pada bulan Dzulhijjah bagi kaum muslimin yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji disyariatkan melaksanakan shaum pada tanggal 9 Dzulhijjah yang dikenal dengan sebutan shaum Arafah, sebagaimana diterangkan dalam hadis sebagai berikut:

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبِلَةً ، وَصَوْمُ عَاشُوراَءَ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً . – رواه الجماعة إلا البخاري والترمذي –

Artinya :Dari Abu Qatadah, ia berkata,”Rasulullah saw. telah bersabda,’Shaum Hari Arafah itu akan mengkifarati (menghapus dosa) dua tahun, yaitu setahun yang telah lalu dan setahun kemudian. Sedangkan shaum Asyura akan mengkifarati setahun yang lalu” – H.r. al-Jama’ah kecuali al-Bukhari dan at-Tirmidzi

Selain dengan sebutan shaum Arafah, shaum ini disebut pula dengan beberapa sebutan lain, yaitu:

(a)   Tis’a Dzilhijjah (9 Dzulhijjah)

عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ– رواه أبو داود وأحمد والبيهقي –

Dari sebagian istri Nabi saw., ia berkata, “Rasulullah saw. shaum tis’a Dzilhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan” H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz VI:418, No. 2081; Ahmad, Musnad Ahmad, 45:311, No. 21302, 53:424. No. 25263, dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:285, Syu’abul Iman, VIII:268

Dalam hadis ini disebut dengan lafal Tis’a Dzilhijjah, yang berarti tanggal 9 Dzulhijjah. Hadis ini memberikan batasan miqat zamani (ketentuan waktu pelaksanaan) shaum ini, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah.

(2)   Shaum al-‘Asyru

عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ : أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَ العَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلغَدَاةِ – رواه أحمد و النسائي –

Dari Hafshah, ia berkata,” Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. : shaum Asyura, shaum arafah, shaum tiga hari setiap bulan dan dua rakaat qabla subuh.”.H.r. Ahmad, al-Musnad, X : 167. No. 26521 dan an-Nasai, Sunan an-Nasai, II : 238

Kata al-‘Asyru secara umum menunjukkan jumlah 10 hari. Berdasarkan makna umum itu, maka dapat dipahami dari hadis tersebut bahwa Rasul tidak pernah meninggalkan shaum 10 hari bulan Dzulhijjah. Namun pemahaman itu jelas bertentangan dengan ketetapan Nabi sendiri yang melarang shaum pada hari Iedul Adha (10 Dzulhijjah) (Hr. An-Nasai, as-Sunan al-Kubra, II:150) serta penjelasan Aisyah “Aku sama sekali tidak pernah melihat Nabi shaum pada 10 (Dzulhijjah)” (H.r. Muslim)

Dengan demikian kata al-Asyru pada hadis ini sama maksudnya dengan Tis’a Dzilhijjah pada hadis di atas. Adapun penamaan shaum tanggal 9 Dzulhijjah dengan al-‘Asyru, karena hari pelaksanaan shaum tersebut termasuk pada hari-hari al-‘Asyru (10 hari bulan Dzulhijjah) yang agung sebagaimana dinyatakan Rasul dalam hadis sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلعم  وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ – رواه الترمذي

Dari Ibnu Abbas, bahwasanya ia berkata, ‘Rasulullah saw. Bersabda, ‘Tidak ada dalam hari-hari yang amal shalih padanya lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini. Para sahabat bertanya, ‘(apakah) jihad fi Sabilillah juga tidak termasuk? Rasul menjawab, ‘Tidak, kecuali seseorang yang berkorban dengan jiwanya dan hartanya kemudian dia tidak mengharapkan apa-apa darinya.’ Hr. At-Tirmidzi, Tuhfah al-Ahwadzi, III: 463 Continue reading


Doa Minum Air Zam-zam dan Menghadap Kiblat

Doa Minum Air Zam-zam

Di beberapa buku panduan ibadah haji dan umrah ada yang menerangkan tentang doa minum air zam-zam dan disunnahkan sambil menghadap kiblat. Kami merasa penasaran dan menganggap perlu untuk meneitinya lebih jauh, apakah memang ketika mium air zam-zam itu disyariatkn berdoa dengan doa yang khusus dan sambil menghadap kiblat. Sejauh penelitian kami bernar terdapat beberapa riwayat yang menerangkan demikian.

Doa ketika minum air zam-zam

“Dari Ikrimah, ia berkata “Ibnu Abba situ apabila minum air zam-zam beliau berdoa ‘Allahumma inni as-aluka ‘ilmannaafian wa rizqawwaasi’an wa syifaa-an minkulli daa-in’ artinya, Ya Allah ya Tuhan kami sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeqi yang luas dan kesembuhan dari segala penyakit” (HR. Ad Daraquthni)

Sedangkan dalam syarah al-mughni Ibnu Qudamah, III:478, lafal doa ini terdapat sedikit perbedaan, yaitu:

“Bismillaahi Allahummaj’alhu lanaa ‘ilman naafi’an wa rizqan wa si’an wa rayyan wa sya’bawwasyifa-an minkullidaa-iwwaghsilbihi qalbii wamla-hu min hikmatika”

Artinya: Denga menyebut nama Allah, ya Allah Tuhan kami, jadikanlah zamzam ini bagi kami ilmu yang bermanfaat, penghilang dahaga dan rasa lapar dari segala penyakit. Dan cucilah hatiku dengannya serta penuhilah air zamzam ini dengan hikmahmu Continue reading


Al-Ma’tsurat adalah serangkaian bacaan ayat Alquran Alkariem, zikir dan doa yang disusun sedemikian rupa oleh Haddan Al-Banna sebagai kumpulan bahan untuk zikir pagi dan sore hari. Sumber ayat-ayatAlquran, lafal-lafal yang diambil dari hadis-hadis Rasulullah saw.

 

Selain ayat dan hadis itu, ada juga doa yang digubah oleh beliau sendiri yaitu doa rabithah yang diletakkan dibagian akhir kumpulan zikir Al-Ma’tsurat.

 

Jadi, penyusunan letak ayatdan hadis sedemikian rupa sehingga menjadi seperti urutan dalam ma’tsurat itu, tentu saja bukan dari Rasulullah saw. Melainkan dari penyusunannya.

 

Kalau dipahami bahwa wujud Al-Ma’tsurat dengan pilihan ayat dan susunannya itulah yang dahulu dibaca Rasulullah padi dan petang, tentu pemahaman ini adalah pemahaman yang keliru.

 

Kemudian dilihat dari segi kedudukan hadis, sebagian doa dan zikir dalam Al-Ma’tsuratada yang daif, antara lain doa khusus setelah selesai acara yang popular disebut kafaratul majlis

 

Subhaanaka Alloohumma wabihamdika, asyhadu alla ilaaha illaa anta, asytagfiruka wa atuubu ilaaik

Continue reading