TILAWAH AL-QURAN

Mengenai tilawah Alquran (membaca Alquran) nin ada beberapa hukum yang berkaitan dengannya, seperti bagaimana hukum melagukan Alquran dan hukum menangis ketika membacanya. Selain itu, ada beberapa masalah yang sering menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat, seperti bolehkah wanita haid membaca Alquran? Bolehkah membaca Alquran tanpa berwudu terlebih dahulu dan lain-lain.

Untuk mengetahui duduk persoalannya, marilah kita perhatikan keterangan-keterangan yang akan kami rinci melalui sub judul di bawah ini.

1. Wanita Haid dan Nifas Membaca Alquran.

Membaca Alquran pada dasarnya diperbolehkan bagi siapa pun kecuali ada dalil yang melarangnya. Ternyata bagi wanita haid atau nifas ada beberapa hadis yang melarang mereka untuk membaca Alquran. Namun, hadis-hadis tidak luput dari kedaifan. Agar lebih jelas, marilah kita perhatikan hadis-hadis tersebut berikut keterangan mengenai kedaifannya

Dari Ibnu Umar ra. Ia mengatakan, “Rasulullah SAW. Bersabda, “janganlah wanita haid dan yang sedang junub membaca sesuatu pun dari Alquran”.H.R At-Tarmidzi

Dari Jabir ra. Ia mengatakan, “tidklah (janganlah) wanita haid yang junub, dan yang sedang nifas membaca Alquran”.H.R Ad-Daruquthni.

Hadis pertama diriwayatkan oleh Imam At-tarmidzi dalam Kitabut Tharah I:236. Dan hadis yang semakna dengannya diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah masih dalam Kitabut Tharah I:331.

Kedua hadis ini melaluia rawi yang bernama Ismail bin ‘Ayyasy bin sulaem. Dia adalah orang Syam tepatnya di Himsha. Ismail bin Ayyasy pada asalnya rawi tsiqat dan hadisnya sahih bila ia menerima hadis dari rawi yang senegeri dengannya. Tetapi bila ia menerima hadis dari rawi lain yang tidak sati negeri dengannya maka hadisnya daif, ia tidak bisa dijadikan hujjah.

Kebetulan pada hadis diatas Ismail bin ‘Ayyasy menerima hadis dari Musa bin Uqbah. Dia adalah orang Madinah. Berarti ia menerima hadis dari rawi yang tidak dari satu negeri dengannya. Imam Al-bukhari mengatak, “bila Isamail bin ‘Ayyasy menerima hadis bukan dari rawi yang senegri dengannya maka fiihi nazhar(hadisnya ditinggalkan). Sedangkan menurut Yahya bin Ma’in, bila Ismail bin ‘Ayyasy menerima hadis bukan dari rawi yang senegeri dengannya (yaitu negeri Syam) maka dia ikhtilath (pikun). (Lihat Tahdzibul Kamal, III:177, Al-Kamil fi Dhu’afair Rijal, I;294 dan Al Majruhin, I:125).

Selain itu, ada juga hadis yang sanadnya tidak melalui rawi Ismail bin ‘ayasy tetapi melalui Abu Ma’syar dari Musa bin Uqbah yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni ini terdapat rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, hadisnya pun tetap ditolak.

Hadis kedua diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya juz, I:121. Hadis ini tidak bias dipakai hujjah, karena selain mauquf (sanadnya sampai sahabat) juga pada sanadnya terdapat rawi yang bernama Yahya. Nama lengkapnya adalah Yahya bin Abu Anisah. An-Nasai dan Ad-Daraquthni mengatakan, “Dia Matrukul hadis (hadisnya ditinggalkan0”. Abu Hatim, Abu Zur’ah, Yahya bin Ma’in mengatakan, “Dia dhaiful hadis (hadisnya daif) sedangkan Ali bin Al-Madini mengatakan, “La yuktabu haditsuhu (tidak dicatat hadisnya)”. (Tahdzibul Kamal, XXXI:226-227)

Dengan keterangan-keterangan di atas, cukup jelas bagi kita untuk tidak menjadikan hujah apalagi mengamalkan hadis-hadis tersebut.

2. Orang junub membaca Alquran

Kalangan ahli ilmu telah berbeda pendapat tentang orang yang junub membaca Alquran. Ada yang membolehkannya, ada yang tidk. Mereka yang melarang orang junub membaca Alquran di antaranya berdasarkan hadis-hadis di bawah ini :

Dari Ali ra.ia mengatakn, “Rasulullah biasa membacakan Alquran kepada kami di setiap keadaan tidak dalamkeadaan junub”. H.R At-Tarmidzi

Dari Ibnu Umar ra. Ia mengatakan, “Rasulullah saw. Bersabda, tidak boleh / jangan membaca sesuatu dari Aquran ornag yang sedang junub”. H.R Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni I”117.

Dari Abu Musa ra. Iamenatakan “rasulullah saw. Bersabda, “hai Ali Sesungguhnya aku meridhai kamu (seperti) aku meridhai sesuatu untuk diriku sendiri, dan aku tidak menyukai (sesuatu) untukmu seperti aku tidak menyukai sesuatu untuk diriku! Janganlah kamumembaca Alquran dalam keadaan junub…!!. H.R Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni I.:119.

Dari Abdullah bin Rawahah ra. Ia mengatakan, bahwasanya rasulullah saw melarang salah seorang di antara kami untuk membaca Alquran dalam keadaan junub”. H.R Ad-Daruquthni.

Hadis pertama diriwayatkan oleh At-Tarmidzi, I:275. Dan hadis yang semakna dengannya oleh An-nasai I:155-156, Abu Daud I:52 dan Ibnu Majah I.331. Semua sanad hadis ini melalui rawi yang bernama Abdullah bin Salimah (Salamah). Dia itu rawi yang dikenal akan tetapi diingkari. Ia juga sering berbuat salah dalam meriwayatkan hadis. Selain itu, Imam Al-Bukhari mengatakan, “la yutaba’u ‘ala haditsihi” (tidak ada mutaba’ah / penolong untuk hadisnya) (lihat Tahzibul Kamal, XV:51-52, Tahdzibul Tahdzib, V:241, Lisanul Mizan, II:431, Al-Kamil fi Dhuafair Rijal, IV:169 dan Adhu-dhuafa wal Matrukin, hal.154).

Hadis kedua juga dhaif karena pada sanadnya ada rawi yang bernama Abdul Malik bin Maslamah Al-Umwi. Ibnu Yunus mengatakan, “Munkarul hadis”. Ibnu Hibban mengatakn ia banyak meriwayatkan hadis-hdis munkar dari orang-orang Madinah”.(Lisanul mizan, IV:68 dan Al-Mughni Fidh-Dhu’afa, II:409).

Hadis ketiga sanadnya melalui rawi Abu Malik, yang nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Al-Husain (Husain) An-Nakhai. Dia dinyatakan daif oleh Abu hatim, Abu Zur’ah dan oleh Ad-Daraqutni sendiri. Imam Al-Bukhari mengatakan, “Laisa bil qowi (dia tidak kuat). Sedangkan Al-Azdiy dan An-Nasai mengatakan, “dia matrukul hadis (hadisnya ditinggalkan)” (lihat Mizanul I’tidal,II”653, Al-jarhu wat ta’dil, V:347, Al-Kamil, V:303, dan Ad-Duafa wal Matrukin, hal.166)

Hadis yang keempat pun daif karena pada sanadnya ada rawi yang bernama Salamah bin Wahram. Ahmad bin Hanbal berkata, “Zamrah bin Salih meriwayatkan hadis-hadis munkar darinya, dan aku khawatir akan keberadaan hadisnya itu daif. Selai itu ia juga dinyatakan daif oleh Abu Daud. Ibnu Addiy mengatakan, “hadisnya tidak teranggap”. Sedangkan Ibnu Hibban mengomentari, “boleh hadisnya dijadikan I’tibar (perbandingan) jika diriwayatkan melalui rawi selain Zam’ahbin salih”. (lihat Tahdzibul Kamal, XI:328, Mizanul I’tidal II:193, Tahdzibut Tahdzib IV:161, Al-Kamil, III:328, al-Kasyif, II:387 dan Al-Mughni I:276)

Selain itu, ada keterangan Ali bin Abu thalib riwayat Abu Ya’la Al-Mushili, Musnad Abu Ya’la, I:300 dan Ahmad bin Hanbal, beliau menyatakan bahwa yang junub tidak boleh membaca Alquran walaupun satu ayat, Pernyataan Ali bin Abu Thalib ini hanya merupakan ijtihad beliau saja bukan ijma’ sahabat, karena sahabat lain pun seperti Ibnu Abbas berpendapat bahwa tidak ada halangan bagi orang yang junub halangan bagi orang yang junub membaca Alquran (lihat Fathul Bari, I:541).

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas tidak ada satupun dalil yang sahih yang melarang orang junub membaca Alquran.

3. Membaca Alquran tanpa wudhu (ketika hadas kecil)

Pada pembahasan sebelumnya telah diterangkan, bahwa orang yang sedang junub, wanita haid atau nifas (yang berhadas besar) boleh membaca Alquran, sebab hadis-hadis yang melarang mereka unutk membaca Alquran semuanya tidak luput dari kedaifan.

Maka jita dpat memahami bahwa yang berhadas besar saja boleh membaca Alquran apalagi yang berhadas kecil. Dan dalam keterangan lain di sunatkan sebelum berwudu itu membaca bismillahirrahmanirrahim, dan bismillahirrahmanirrahim merupakan ayat Alquran.

Tidak sah salat bagi yang tidak berwudu dan tidak sempurna wudu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah

Agar lebih menentramkan hait, marilah kita perhatikan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bikhari dari sahabat Ibnu Abbas. Dalam hadis itu diterangkan, bahwa Hirakla (Raja Najasyi) membaca surat dari Rasulullah saw, yang beisi ayat suci Alquran, padahal ia non muslim itu sudah tentu tidak bersih dari hadas kecil maupun hadas besar. Perhatikan hadis dibawah ini

Ubni Abbas bekata, “telah mengkhabarkan kepadaku Abu Sufyan, bahwa Hirakla pernah meminta surat dari Nabi saw, Kemudian ia membacanya. Ternyata dalam surat itu tercantum (ayat) “ Bismillahirrahmanirrahim” dan “ya ahlal kitabi ta’alau ila kalimatin” (Ali Imran”64) H.R Shahih Al-Bukhari.

Pada hadis di atas, Rasulullah saw tidak memerintahkan unuk berwudu kepada Hirakla yang akan membaca surat yang berisikan ayat Alquran, demikian juga kepada sahabatnya yang menulis dan membaca isi surat itu. Dengan demikian jelaslah, bahwa orang membaca Alquran tidak perlu berwudu terlebih dahulu.

4. Menangis ketika membaca Alquran

Ada sebagian yang berpendapat, bahwa di antara ketika membaca Alquran itu adalah harus sambil menangis, bahkan jika tidak bias menangis, hendaklah berusaha agar dapat menangis. Alasan mereka yang berpendapat seperti itu adalah berdasarkan keterangan di bawah ini :

Dari Abdurrahman bin As-saib ra. Ia berkata, “telah mendatangi kami Sa’ad bin Abu Waqqas(saat itu) sudah tidak berfingsi lagi penglihatannya. Lalu aku mengucapkan salamkepadanya. Sa’ad betanya.”siapa kamu?” Lalu aku memberitahukan kepadanya, kemudianSa’ad bekata lagi, “selamat dating anak saudaraku! Telah sampai berita kepadaku bahwa kamu bersuara bagus dlaam mambaca Alquran. Aku pernah mendengar Rasulullah saw. Bersabda, “sesungguhnya Aquran ini turun dengan kesedihan. Apabila kamu membacanya, menangislah, bila tidak bias menangis, berusahal menangis. Dan alunkanlah oleh kalian membaca Aquran itu. Barangsiapa tidak mengalunkannya, bukanlah golongan kami”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah III:129, Al-Baihaqi dlam As-Sunanul Kubra X:231 dan Abu Ya’la Al-Mushili dlam musnadnya, II:50. Semua sanad hadis di atas melalui rawi yang bernama Abu Rafi, yang nama aslinya Ismali in Rafi bin Uwaimir. Ia dijarah oleh para ahli hadis. Seperti An-Nasai menyatakan, “dia itu Matrukul hadsi, daifdan laisa bitsiqatin”. Ad-Daruquthni berkata, “ Abu rafi itu natruk”. Sedangkan Ya’qub bin Sufyan berkata, “ Abu Rafi tidak tergolong matruk, akan tetapi hadisnya tetap tidak bias dipakai hujah”(Tahdzibul Kamal, II:88)

Dengan keterangan-keterangan di atas jelaslah, bahwa orang yang berpendapat harus menangis ketika membaca Alquran itu tertolak

Catatan : Adapun menagis ketika membaca Alquran bagi orang yang tersentuh hatinya, sebab ia mengerti faham kepada ini kandungan ayat-ayatnya, maka hal itu termasuk bagian dari rahmat. Dan ini sama halnya seperti orang yangmenangis ketika mendengar seseorang membaca Alquran, karena mengetahui kebenaranya.(Q.S Al-Isra,107-108 dan Al-Maidah:83)

Dari Amr bin Mjurrah ra. Ia berkata “rasulullah saw bersabda kepadaku “bacalah Alquran untukkku. Aku menjawab “apakah aku pantas membacaka Alquran untukmu padahal ia diturunkan kepadamu”. Beliau bersabda”aku sukamendengarnya dari yang lain. Lalu aku membaca untuk beliau surat An-Nisa hinga ayat “maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”. Nabi bersabda, ‘berhebtilah! Ternyata kedua mata beliau berlinang…” sahih bukhari fathul bari, X:121.

5. Menyentuh Alquran dalam keadaan hadas.

Entah sejak kapan munculnya akidah atau keyakinan bahwa menyentuh Alquran itu tidak boleh kecuali harus dalam keadaan suci (bersih dari hadis kecil dan besar). Keyakinan seperti ini sudah menjamur di kalangan masyarakat hingga sekarang. Mereka berkeyakinan seperti itu tentu memiliki dasar, baik dari Alquran atau hadis, karenaini masalah ibadah. Bila keterangan-keterangan itu memang ada dan dapat diterima secara ilmu, tentu semua umat Islam wajib menaatinya. Akan tetapi bila keterangan-keterangan itu tidak dapat diterima secara ilmu atau salah dalam memahami maknanya maka kita wajib menolak.

Ternyata mengenai keyakinan menyentuh Alquran harus dalam harus dalam keadaan suci berdasarkan hadsi-hadis dibawah ini :

Dari Abdullah bin Abu Bakar dari Ayahnya (Abu Bakar) ia berkata, “dlam surat Rasulullah saw. Untuk Amr bin Hazm (kakek Abu Bakar) tercantum padanya, tidak (bolah) menyentuh Alquran kecuali dalam keadan suci”

Dari ibnu Umar ra. Ia berkata “Rasulullah saw bersabda”tidak bolah menyentuh Alquran kecuali dalam keadaan suci.

Dari Hassan bin Bilal dari Hukaim bin Hizam, (ia berkata), “bahwa Nabi saw berkata kepadanya (Hakim), “tidak (boleh) kamu menyentuh Alquran kecuali kamu dalam keadaan suci”

Dari Ustman bin Al-Ash, nabi pernah bersabda kepadaku : “Sungguh aku telah mengangkatmu sebagai pemimpin (ketua dlam suatu perjalanan) atas sahabat-sahabatmu padahal kamu yang paling muda di antara mereka, dan janganlah kamu menyentuh kecuali kamu dalam keadaan suci”

Dari Tsauban, ia memarfu’kan (Nabi saw bersabda), “tidak (boleh) menyentuh Alquran kecuali orang yang suci”

Takhrij Hadis

Hadis nomor satu sampai empat diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam sunannya I:121. pada hadis pertama diriwayatkan oleh juga oleh Al-Baihaqi dlam As-Sunanul Kubra, I:88 dan Syu’abul Iman, II:380, Imam Malik dalam Al-Muwaththa, I:203, Ad-Darimi daam Kitabut Talaq, II:161dan abu Daud dalam kitab Marasil, hal:121-122. hdis kedua diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jamul kabir Wal Ausath (CD), Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, I:188 dan tercantum dalam kitab Majma’uz Zawaid tulisan Al-Haitsami, I:282. hadis ketiga diriwayatkan juga oleh At-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir wal Ausath (CD), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadis keempat diriwayatkan juga oleh Ath-thabrani dalam Mu’jamul kabir dan tercantum dalam Majma’uz Zawaid, I:282. Sedangkan hadis kelima diriwayatkan oleh Ali bin Abdul Aziz dalam kitab Muntakhabul Musnad (CD)

Semua hadis di atas tidak bias dijadikan hujah untuk menetapkan hukum karena terdapat kedaifan. Agar lebih jelas, perhatikanlah keterangan-keterangan berikut nin:

Hadis pertama walaupan rawi-rawi tsiqat tetapu hadis tersebut mursal tabi’I, karena Abu Bakar tidak bertemu dengan Amr bin Hazm (kakeknya). Dalam ilmu Mushtalah hadis, hadis yang mursal tabi’I itu dikategorikan daif.

Hadis kedua dinyatakan daif oleh Al-Haitsami, bahwa rawi-rawinya tsiqat (rijaluhu muwtstsaqun), padahal terdapat rawi tang bernama Sulaiman binMusa (sulaiman bin arqm) Al-Asydaq Al-Qurasi Al-Umwi. An-Nasai berkata, ‘Sulaiman itu laisa bil qawwi (tidak kuat dlam meriwayatkan hadis). Sedangkan Al-Bukhari berkata, “padanya terdapat hadis-hadis munkar” (lihat Haisyah Ad-Daruquthnim I:121, Tahdzibul Kamal, XII:97, Al-Kamil, III::263 dan Adh-Dhuafa wal Matrukin, hal 122)

Hadis ketiga daif karena pada sanadnya ada rawi bernama Suwaid Abu Hatim, yang nama lengkapnya Suwaid bin Ibrahim Al-Jahdari Al-Bashri. Dia dinyatakan daif oleh Yahya bin Ma’in. Abu Daud dan An-Nasai berkata “ia Daif. Sedang Abu Zur’ah berkata “laisa bil Qawwi” Tahdzibul kamal, XII:234-244 dan majma’uz zawaid,I:282

Hadis keempat daif karena pada sanadnya ada rawi bernama Ismail bin Rafi bin Uwaimir Abu Ubaid. An-Nasai berkata, “Matrukul hadis (hadisnya ditinggalkan)” Hanbal dan abu hatim berkata “munkarul hadis” dan pada kesempatan lain An-Nasai vberkata “Ismail bin Rafi itu rawi yang daif dan tidak tsiqat” tahdzibul kamal, III:87-88 dan Al- kamil, I:280)

Hadis kelima daif karena pada sanadnya ada rawi bernama Hashib bin jahdar. Dia Matruk, daif karena sering berdusta meriwayatkan hadis dari Abi Shalih. Aunul Ma’bud, dan Nailul Authar, I:247

Pertanyaan : Walaupun hadis-hadis diatas daif, bukankah makna hadis-hadis tersebut sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam Alquran surat Al-Waqiah ayat 79 yang artinya : Tidak menyentuhnya(Alquran) kecuali mereka yang disucikan.

Jawaban : Ayat tersebut sama sekali tidak ada kaitan dengan hadis-hadis diatas, sebab yang dimaksud dengan muthahharun (mereka yang disucikan) menurut pendapat yang kuat adalah para malaikat, sebab alQuran yang dimaksud dalam ayat itu adalah kitabullah yang ada dilangit yakni di lauhulmahfizh. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Anas, Said bin Jubair dan Ikrimah, mereka adalah para ahli tafsir di zamannya. Adapun maksud ayat ini untuk membantah perkataan orang-orang kafir yang menuduh, bahwa Alquran yang turun kepada Nabi saw, bukan dari Allah SWT melainkan dari syetan(At-Tafsirul Munir, 27:275 dan 280, Ad-Durrul Mansur, IIX:26, Ibnu Katsi, IV:296 dan Ath-Thabari, 27:205). Dengan demikian, keliru bila ayat ini dijadikan dalil tidak boleh menyentuh alquran kecuali dalam keadaan suci, sebab menurut penelitian kami tidak ada satupun riwayat sahih yang menerangkan bahwa yang dimaksud muthahharun itu adalah orang yang bersih dari hadas.

6. Memperlombakan Bacaan Quran (MTQ)

Memperlombakan bacaan Quran atau musabaqah tilawatil quran sudah menjadi tradisi dikalangan umat Islam, apalagi pada acara nuzul quran. Untuk mengetahui boleh dan tidaknya tentang MTQ ini marilah perhatikan hadis dibawah ini

Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata “rasulullah saw Bersabda sesungguhnya manusia yang akan ditetapkan keputusan baginya pada hari kiamat adalah orang yang telah belajar ilmu dan mengajarkannya, dan ia membacakan Alquran. Kemudian dihadapkan dan diterangkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang telah diberikan), lalu ia mengetahui.Allah berfirman “apa yang telah kamu perbuat pada kenikmatan itu? Ia mwnjawab aku nelajar ilmu serta mengajarkan dan aku membaca Alquran karenaMu (ikhlas) Allah befirman. Kamu berdusta Akan tetapi kamu belajar ilmu karena hanya akan ingin disebut alim dan kamu membaca ALquran karena hanya ingin disebut qari (pembaca yang mahir)..Kemudian diprintahkan agar ia diseret ke dalam api neraka”H.R Muslim

Dengan hadis ini,membaca Alquran dengan cara dipertontonkan di depan umum hanya yntuk disebut sebagai qari yang terbaik adalah riya, sedangkan riya adalah syirik.