Hukum Kalimat “Tatswib” Pada Adzan Shubuh Sering kita dengar pada saat adzan subuh ada tambahan kalimat adzan yang tidak terdapat pada keempat adzan lainnya. Tambahan kalimat tersebut yaitu “…ash-shalaatu khairum minan naum…”, atau biasa disebut sebagai kalimat tatswib.
Pertanyaan mendasar buat kita sebagai umat islam adalah apakah tambahan tersebut benar-benar diucapkan pada saat adzan shalat subuh ataukah kalimat tersebut diucapkan pada saat fajar kadzib (sebelum Shubuh). Dikarenakan hal ini merupakan salah satu bentuk ibadah, maka sepatutnya kita merujuk permasalahan ini kepada nash-nash baik dari Al-Qur’an maupun dari Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, tanpa ada tendensi/kecenderungan terhadap madzhab tertentu, sikap ini merupakan manifestasi dari firman Allah:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kami berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa’:59)[1]
Mudah-mudahan penjelasan berikut dapat memberikan tambahan ilmu agama buat kita khususnya dalam masalah kalimat tatswib.Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
1. Golongan yang berpendapat bahwa kalimat tatswib diucapkan pada saat adzan ketika akan dilaksanakannya shalat Subuh. Selain shalat Shubuh tidak disyariatkan[2]. Mereka berargumentasi berdasarkan:
a. Riwayat dari Abu Mahdzurah yang berbunyi: “Wahai Rasulullah ajarilah aku sunnah adzan. Maka beliaupun mengajarinya dengan sabdanya: ‘Jika shalat Shubuh, kamu ucapkan ash-shalaatu khairum minan naum’ (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
b. Riwayat dari Bilal yang berbunyi:“Rasulullah shalalllahu ‘alahi wa sallam memerintahkanku mengucapkan tatswib pada waktu fajar dan mencegahku mengucapkan tatswib pada shalat Isya’.” (HR Ibnu Majah 715)
c. Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (I/378), Al-‘Uqaili di Ad-Dluafa’ (hal 26) dan Ahmad dengan lafadz:“Janganlah sekali-kali (mengucapkan) tatswib sesuatupun dari shalat-shalat kecuali pada shalat Fajar.”
d. Riwayat dari Ali bin Ashim dari Abu Zaid Atha bin As-Saib dari Abdurrahman bin Abi Laila dengan lafadz:“Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam menyerukan untuk tidak tatswib, kecuali waktu Fajar.” (HR Baihaqi dan Ahmad 96/14-15)
e. Lafadz tastwib itu lafadznya terbalik. Maksudnya dalam hadits Ibnu Umar (yang nanti akan dikemukakan) lafadz tastwib itu seharusnya digunakan pada adzan kedua.
2. Golongan yang mengatakan bahwa kalimat tatswib diucapkan pada adzan pertama shalat shubuh yang dikumandangkan hampir seperempat jam sebelum masuk waktu shalat Shubuh[3]. Dengan maksud untuk membangunkan orang yang masih tidur untuk shalat lail, agar orang yang selesai shalat tahajjud beristirahat agar bersemangat lagi ketika shalat Shubuh[4], atau ia hendak melakukan ibadah puasa sehingga segera makan sahur[5].
Adapun yang termasuk dalam golongan ini adalah:
– Imam Asy-Syafi’I dalam kitab Al-Umm.
– Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari.
– Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim.
– Asy-Syaukani dalam Nailul Authar.
– Ibnul Qayyim dalam ‘Aunul Ma’bud.
– Imam Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam.
– Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Abani dalam Tamamul Minnah.
– Syaikh Bin Baz dalam Fatawa.
– Syaikh Utsaimin.
– Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam Qaulul Mubin fi Akhthail Mushallin.
– Imam Ath-Thahawi.
– Imam Abu Hanifah dan ulama-ulama hadits lainnya.[6]
Menurut golongan ini riwayat Abu Mahdzurah (a) yang dijadikan alasan oleh golongan pertama diatas masih bersifat umum dan mencakup dua adzan. Riwayat dari Abu Mahdzurah ini di-taqyid (dikhususkan)[7] maknanya oleh beberapa hadits, jadi perintah Rasulullah kepada Abu Mahdzurah adalah untuk adzan pertama shalat Shubuh.
Hadits-hadits yang dijadikan argumentasi golongan kedua diantaranya:
a. Dari Ibnu Umar ra, ia berkata:“Dalam adzan yang pertama sesudah ‘al-falah’ ada bacaan ‘ash-shalaatu khairum minan naum’ dua kali.” (HR Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra 1/423 dan Ath-Thahawi dalam Syarh al-Ma’ani Atsar 1/82,137) dengan sanad shahih[8] seperti yang dikatakan Al-Hafidz[9])[10]. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam al-Mushannaf 1/473, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 1/208, As-Siraj dan At-Thabrani dan sanadnya hasan[11] sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab al-Talkhisus Kabir 1/361 dan Al-Ya’mar berkata: “sanadnya shahih”.[12]
b. Riwayat lain yang semakna dengan hadits diatas, yang berbunyi:“Jika kamu mengumandangkan adzan pertama subuh, maka ucapkanlah ‘ash-shalaatu khairum minan naum“ (HR Abu Daud, an-Nasa’I, Ath-Thahawi dan yang lain-lain)Hadits ini ditakhrij[13] dalam Shahih Sunan Abu Daud (510-516). Karena kesesuaian hadits ini dengan hadits Ibnu Umar sebelumnya, maka Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulus Salam I/167-168 dibelakang lafadz dari an-Nasa’I, berkata:“Di dalamnya ada spesifikasi atas riwayat-riwayat yang dinyatakan secara global. Ibnu Ruslan berkata: Ibnu Khuzaimah manshahihkan riwayat ini. Beliau berkata: Tatswib ini disyariatkan hanya dalam adzan pertama shalat Fajar untuk membangunkan orang tidur. Adapun adzan kedua untuk memberitahu masuknya waktu dan panggilan shalat.”[14]
c. Riwayat yang semisal juga disebutkan dalam Sunan Baihaqi al-Kubra dari Abu Mahdzurah, yang berbunyi: “Ia membaca tastwib dalam adzan pertama shalat subuh atas perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.” [15]
d. Riwayat yang berbunyi:“Aku adzan di jaman Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, pada shalat Shubuh, maka apabila aku mengucapkan hayya alal falah, aku ucapkan ash-shalaatu khairum minan naum 2 kali pada adzan pertama.” (HR Ahmad dalam Musnad-nya 3/408)[16]
Dalam hal menjawab argumentasi kedua (b) golongan pertama, golongan kedua menerangkan bahwa riwayat dari Bilal yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah statusnya dlaif sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Al-Albani dalam kitab Al-Irwa’ 235.Beliau berkata: “Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 515 dari Abu Israil (rawi) dari Al-Hakam dari Abdurrahman bin Abi Laila dari Bilal.”
Dalam hal riwayat ketiga (c) Tirmidzi berkata: “Kami tidak mengetahui (hadits ini) kecuali dari hadits Abu Israil Al-Mullai. Hadits ini tidak beliau (Abu Israil) dengar dari Al-Hakam bin Utaibah dan Al-Hasan bin Ammarah dari Al-Hakam bin Utaibah.
Syaikh Albani berkata: “Sungguh Abu Israil telah mengatakan bahwa dia meriwayatkan hadits dari Al-Hakam pada riwayat imam Ahmad (hadits c golongan pertama), tetapi yang tampak bahwasanya Abu Israil tidak memastikan yang demikian itu. Adapun Al-‘Uqaili (rawi) telah meriwayatkan dari Bukhari, beliau (Bukhari) berkata tentang Abu Israil: Bahwa Abu Walid telah men-dlaif-kannya.
” Al-‘Uqaili berkata, aku bertanya kepadanya (Abu Israil) tentang hadits Ibnu Abi Laila dari Bilal: “Adakah dia (Abu Israil) meriwayatkan dari Al-Hakam tentang adzan? Dia menjawab: “Aku mendengarnya dari Al-Hakam atau Al-Hasan bin ‘Ammarah.” Maka yang tampak adalah adanya mudtharib (kegoncangan) padanya. Kadang-kadang dia mengatakan dari Al-Hakam dan kadang-kadang berkata kepada kami Al-Hakam atau Al-Hasan bin ’Ammarah. Dengan demikian tidak sah kepastian bahwa dia (Abu Israil) tidak mendengar hadits dari Al-Hakam sebagaimana yang diperbuat oleh imam Tirmidzi. Bahkan beliau tawaqquf[17]pada yang demikian itu, karena ada idhthirab (kegoncangan/ketidakkonsisten) padanya. Al-‘Uqaili berkata tentangnya: “Didalam haditsnya ada kebingungan (tidak ada kepastian) dan kegoncangan bahwasanya beliau tidak bersendirian dengan hadits diatas walaupun imam Tirmidzi tidak mengetahui yan demikian.”[18]
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang menjadi sebab-sebab pen-dlaif-an hadits-hadits diatas dikarenakan pribadi Abu Israil.Al-‘Uqaili berkata bahwa hadits ini (hadits c golongan pertama) dikeluarkan oleh Baihaqi (1424) dari jalan Abdul Wahhab bin Atha’anaa Safiyyah dari Al-Hakam bin Utaibah dan rawi-rawinya terpercaya akan tetapi sanadnya munqathi’[19].
Riwayat keempat (d) juga dlaif.[20] Hal ini disebabkan dalam sanadnya ada ‘Atha dan Ibnu ‘Ashim. Imam Baihaqi menganggap terdapat illah (cacat) dengan inqitha’ (putus sanadnya). Dan beliau berkata bahwa hadits ini adalah mursal[21] Kemudian Al-Baihaqi berkata “(Hadits ini) diriwayatkan juga oleh Al-Hajjaj bin Arthaah dari Thalhah bin Musharrif dan Zubaid dari Suwaid bin Ghaflah bahwsanya Bilal tidak mengumandangkan tatswib kecuali di waktu fajar. Maka beliau mengucapkan pada adzannya ash-shalaatu khairum minan naum, tetapi Al-Hajjaj mudallis[22]
Adapun argument kelima (e), Golongan pertama menanggapi bahwa kalimat itu diucapkan oleh muadzin yang pertama, bukan muadzin yang kedua (kadang-kadang Ibnu Ummi Maktum yang pertama dan Bilal yang kedua atau Bilal pertama dan Ibnu Ummi Maktum yang kedua).[23] Hal ini akan kita jelaskan kemudian. InsyaAllah.
Maka dengan demikian golongan pendapat kedualah yang lebih kuat berdasarkan dalil-dalil shahih, hal ini juga diperkuat dengan penjelasan Imam Shan’ani. Beliau berkata: “Oleh sebab itu at-tatswib bukanlah lafadz yang disyariatkan untuk memanggil shalat, akan tetapi dia adalah untuk membangunkan orang yang tidur (Subulus Salam 1/221)[24].
Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam mempunyai dua muadzin sebagaimana terdapat dalam riwayat diantaranya dari shahabat Ibnu Umar, Aisyah, Unaisah, Anas, Sahl bin Sa’ad dan Salman A-Farisi ra.Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani membawakan hadits berikut:“Sesungguhnya Bilal adzan di waktu malam maka makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum[25] adzan (HR. Bukhari dan Muslim)
A. Hadits Ibnu Umar, dari beberapa jalan:
1. Dari Salim bin Abdillah dari ayahnya secara marfu’[26] (yaitu Ibnu Umar) dengannya beliau berkata: Dia (Abdullah bin Ummi Maktum) adalah seorang laki-laki buta. Ia tidak menyeru (adzan) sampai dikatakan padanya: telah subuh, telah subuh. (HR Imam Bukhari 1/163, Muslim, 3/129, As-Syafii 1/253, An-Nasa’I 1/105, At-Tirmidzi 3/392, Ad-Darimi 1/269-270, Al-Baihaqi 1/426-427, At-Tabrani 3/190/2, At-Thayalisi 1819, Ahmad 219,123 dan jalan-jalan darinya. Dalam riwayat Darimi dan Tirmidzi tidak ada tambahan ini dan beliau berkata: “Hadits hasan shahih”)
2. Dari Nafi’ dari beliau (Ibnu Umar) berkata: Tidak ada jarak antara keduanya kecuali turunnya Bilal dan naiknya Ibnu Ummi Maktum. (HR Al-Bukhari 1/163,478, Ahmad 2/57, At-Tabrani 3/199/2 dari jalan Ubaidillah darinya [Ibnu Umar] dan riwayat Ibnul Jarrah dan Ahmad ada tambahan)
3. Abdullahh bin Dinar dari Ibnu Umar diriwayatkan oleh Imam Malik 14, Al-Bukhari 1/163, An-Nasa’I 1/105. At-Thahawi di dalam (kitab) Syarhul Ma’ani 1/82 dari tiga jalan.
4. Zaid bin Aslam darinya dengan lafadz: “Sesungguhnya Bilal tidak tahu apakah malam, maka makanlah…..” . Syaikh Albani berkata: “Riwayat Ahmad 2/122 dan sanadnya dlaif”
B. Hadits Aisyah, darinya ada dua jalan:
1. Qasim bin Muhammad dari Aisyah semisal hadits Nafi’, diriwayatkan oleh Imam Bukhari 1/164,478 dan Muslim dan Darimi dan Ibnul Jarud, Al-Baihaqi dan demikian juga An-Nasa’I, Ahmad 6/44,54 dan Thahawi.
2. Dari Al-Aswad Ibnu Yazid dia berkata: Aku berkata kepada Aisyah Ummul Mukminin: “Kapan engkau shalat witir?” Kira-kira dia berkata: “Tidaklah aku shalat witir hingga mereka adzan dan tidaklah mereka adzan hingga terbit fajar, beliau berkata: “Rasulullah SAW mempunyai dua muadzin, Bilal dan Amr Ibnu Ummi Maktum. Beliau SAW bersabda: “Apabila Amr adzan, maka makanlah dan minumlah kalian, sesungguhnya dia laki-laki yang buta matanya dan apabila Bilal adzan maka angkatlah tangan-tangan kalian. Sesungguhnya Bilal tidak adzan – begitu beliau berkata – sampai datang subuh.” (HR Imam Ahmad 6/185-186 dari jalan Yunus bin Abi Ashaq dari Aisyah)Hadits ini sanadnya shahih atas syarat Muslim, namun matan[27] sebagaimana yang kami lihat berbeda dengan apa yang ada pada jalan pertama, yaitu bahwa Amr pada adzan pertama.Hadits diatas diriwayatkan secara ringkas oelh Abu Ya’la dengan lafadz:“Makan dan minumlah sampai Bilal adzan” Al-Haitsami berkata (3/154): “rawi-rawinya terpercaya dan hadits ini mempunyai syahid[28]
C. Hadits Unaisah meriwayatkan darinya Habib bin Abdurrahman dan beliau adalah bibinya, dengan dua jalan terpercaya.
1. Mansur bin Zadzan dengan lafadz hadits Aisyah dari jalan yang kedua:“Sesungguhnya Ibnu Ummi Maktum adzan pada waktu malam, maka makan dan minumlah sampai kalian dengan panggilan (adzan) Bilal.” (HR Nasa’I 1/105, Thahawi 2/83, Ahmad 6/433 dari jalan Husyaim, beliau berkata: “Berkata kepada kami dengannya (matan) dan menambahkan:“Dia (Unaisah) berkata: “Dan jika ada seseorang wanita masih tersisa makan sahurnya, maka dia berkata kepada Bilal: ‘Jangan tergesa-gesa sampai aku menyudahi sahurku’Syaikh Al-Albani berkata: “sanad ini shahih atas syarat Muslim dan Bukhari.”
2. Syu’bah, namun dia ragu pada lafadznya, dia berkata didalamnya (matan):“Sesungguhnya Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan (adzan) di waktu malam, maka makan dan minumlah sampai Bilal memanggil (adzan). Atau Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makan dan minumlah sampai Ummi Maktum adzan. Dan adalah diantara naik ini (Bilal) dan turun ini (Ibnu Ummi Maktum). Maka kami (shahabat) tergantung dengannya maka kami katakana sebagaimana engkau (Syu’bah), kami sahur.” (HR Thahawi dan Ahmad dan diriwayatkan oleh Thayalisi (1661)).
D. Hadits AnasAl-Bazzar meriwayatkan dari lafadz hadits Aisyah yang pertama: Al-Haitsami berkata (3/153): “dan rawi-rawinya shahih). Imam Ahmad meriwayatkan dengan lafadz:“Janganlah adzannya Bilal mencegah sahur kalian karena sesungguhnya pada penglihatannya ada sesuatu.” (HR Ahmad). Hadits ini sanadnya shahih
E. Hadits Sahl bin Sa’adHadits ini dikeluarkan oleh Thabrani dalam Al-Ausath semisal hadits Ibnu Umar dari jalan yang pertama, Al-Haitsami berkata: “Dan rawinya adalah rawi-rawi shahih.
F. Hadits Salman, lafadznya adalah:“Janganlah sekali-kali (adzan) Bilal mencegah salah satu diantara kalian dari makan sahurnya. Maka sesungguhnya Bilal adzan, agar kembali (tidur) yang bangun shalat diantara kalian dan mengingatkan yang tidur diantara kalian (untuk shalat).” Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani di dalam al-Kabir dan didalamnya ada Sahl bin Ziyaad yang dikuatkan oleh Abu Hatim sedang tentangnya ada pembicaraan yang tidak membahayakan sebagaimana diterangkan dalam al-Majma’ (3/154-155)
Dari keterangan diatas, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa yang pertama adzan adalah Bilal, sedangkan dalam riwayat yang lainnya Bilal adzan pada yang kedua. Oleh karena itu para ulama hadits men-jama’ (menggabungkan / mengkompromikan) dua riwayat ini bahwasanya adzan pertama kadang-kadang Bilal dan kadang-kadang Ibnu Ummi Maktum.Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Demikian penjelasan seputar hukum mengucapkan kalimat tatswib pada adzan pertama Shubuh.Alhamdulilah atas petunjuk dan pertolongan Allah.Jika ada kesalahan dalam ulasan dan kutipan diatas saya beristighfar kepada Allah, agar tidak menjadi beban di akhirat nanti. Aamiin. Akhir kata Rujukan:
1. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.
2. Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, CV. Diponegoro, Bandung. 2002
3. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari, Pustaka Azzam, Jakarta. 2003
4. Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Terjemah Tamamul Minnah, Maktabah Salafy Press, Tegal. 2001
5. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, PT. Al-Ma’arif, Bandung. 2003
6. Zuhair Syarif, Bid’ahnya Tatswib Pada Adzan Shubuh, dalam: Majalah Salafy edisi XI/Jumadil Akhir/1417/1996
7. Zuhair Syarif, Kajian Ulang Masalah Tatswib, dalam: Majalah Salafy edisi XIX/Rabi’ul Awwal/1418/1997
[1] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.[2] Sayyid Sabiq, Terjemahan Fikih Sunnah jilid 1, hal 67. Beliau tidak menjelaskan secara lebih lanjut apakah tatswib ini diucapkan pada adzan pertama atau pada adzan yang kedua.
[3] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Terjemah Tamamul Minnah jilid 1, hal 175
[4] Majalah Salafy edisi XI/Jumadil Akhir/1417/1996, hal 41
[5] Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari; Syarah Shahih Bukhari, Buku 4, hal 79
[6] Majalah Salafy edisi XI, hal 41
[7] Dalam kaidah Ushul Fikih, jika ada suatu dalil yang bersifat umum dan kemudian ada dalil yang bersifat khusus maka dalil yang bersifat umum tersebut dikhususkan pemahamannya ke dalil yang bersifat khusus.
[8] Hadits Shahih ada 2 macam:a) Shahih li dzatihi: satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang adil, dlabith (orang yang hafal) yang sempurna, serta tidak ada syu-dzudz (keganjilan-keganjilan) dan tidak ada illah (sebab-sebab) yang tercela.b) Shahih li ghairihi: shahih karena yang lainnya, yaitu yang menjadi sah karena dikuatkan dengan jalan (sanad/periwayatan) atau keterangan lain. Lihat Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 25,29-31
[9] Al-Hafidz yang dimaksud disini adalah al-hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani.
[10] Terjemah Tamamul Minnah jilid 1, hal 175
[11] Hadits Hasan ada 2 macam:a) Hasan li dzatihi: satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil, tapi ada yang kurang dlabith, serta tidak ada syu-dzudz dan illah.b) Hasan li ghairihi: satu hadits yang “tidak terlalu lemah”, dikuatkan dengan jalan lain yang seumpama atau sebanding dengannya. Hadits jenis ini memerlukan pemahaman yang mendalam tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi. Untuk lebih jelasnya lihat Ilmu Mushthalah Hadit, hal 73-78 atau kitab-kitab lain yang membahas tentang ilmu mushthalah hadits.Ilmu Mushthalah Hadits, hal 71-78
[12] Majalah Salafy edisi XIX/Rabi’ul Awwal/1418/1997, hal 16-17.
[13] Takhrij artinya mengeluarkan, yang berarti 3 macam:a) Menyebut hadits dengan sanadnya dalam suatu kitab b) Menyandarkan hadits kepada imam-imam yang meriwayatkanc) Terkadang dipakai dengan makna istikhraj. Lihat Ilmu Mushthalah Hadits, hal 427
[14] Terjemah Tamamul Minnah jilid 1, hal 175
[15] Ibid
[16] Majalah Salafy XIX, hal 17
[17] Tawaqquf artinya berhenti. Sikap ini diambil oeh para ulama bila ada 2 pandangan tentang status hukum yang saling bertentangan tetapi sama-sama memiliki dalil yang sama-sama kuat atau dalil-dalil tersebut masih samara.
[18] Majalah Salafy edisi XI, hal 42
[19] Munqathi’ artinya terputus. Menurut keterangan ahli hadits berarti satu hadits yang ditengah sanadnya gugur (karena seorang perawi tidak mendengar dari perawi sebelumnya atau sesudahnya) dikarenakan seorang rawi atau beberapa rawi, tapi tidak berturut-turut. Lihat Ilmu Mussthalah Hadits, hal 95-98
[20] Untuk penjelasan lebih detail, sebab-sebab pen-dlaif-an hadits-hadits tersebut lihat Majalah Salafiy, edisi XI/Jumadil Akhir/1417/1996, hal 42-43
[21] Mursal artinya yang dilangsungkan. Dalam istilah Mushthalah Hadits berarti satu hadits yang diriwayatkan oleh seorang Tabi’I (generasi sesudah shahabat Nabi) langsung dari dari Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam dengan tidak menyebut nama orang yang menceritakan kepadanya. Ilmu Mushthalah Hadits, hal 108
[22] Mudallis artinya yang ditutup atau yang disamarkan. Ada 2 macam:a) Isnad: satu hadits diriwayatkan oleh seorang rawi dari seorang yang ia bertemu atau semasa dengannya, tetapi ia tidak mendengar hadits yang diriwayatkannya itu daripadanya, kadang ia meragu-ragukan, seolah-olah ia mendengar hadits itu dari padanya.b) Syuyukh: satu hadits yang dalam sanadnya, si rawi menyebut syaikh yang ia mendengar daripadanya dengan sifatnya yang tidak terkenal. “sifat” disini maksudnya: nama, gelar, pekerjaan, atau qabilah dan negeri yang disifatkan kepada seorang syaikh, dengan tujuan supaya hal keadaan yang sebenarnya tidak diketahui orang.Ilmu Mushthalah Hadits, hal 99-101
[23] Majalah Salafy edisi XI, hal 42
[24] Majalah Salafy edisi XI, hal 41
[25] Ibnu Ummi Maktum adalah Amr bin Qais bin Zaidah bin Al-Aslam bin Haram bin Rawahah. Demikian pernyataan kebanyakan ulama, namun ada pula sebagian yang menamakan Abdullah bin Zaidah. Adapun nama Ummi Maktum adalah Atikah (Syarah Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 3/304). Majalah Salafy edisi XI, hal 38
[26] Marfu’ adalah salah satu dari sekian banyak derajat hadits. Artinya yang diangkat, yang dimajukan, yang diambil, yang dirangkaikan, yang disampaikan. Dalam ketetapan ilmu hadits berarti sabda atau perbuatan atau taqrir atau sifat yang orang sandarkan kepada Nabi SAW. Perlu diketahui ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dari suatu riwayat marfu’ agar dapat diterima (shahih atau hasan). Untuk lebih jelasnya lihat kitab Ilmu Mushthalah Hadits, hal 285-296
[27] Matan artinya redaksi atau teks hadits
[28] Syahid artinya penguat